Saat umurnya sembilan tahun, Kenny berlutut dan menghadap Kakek untuk melihatnya makan pepaya. Dia menempatkan sikunya di atas meja untuk menopang dagunya. Ini adalah taktik yang dia dan sepupunya buat - dengan diam-diam meminta Kakek untuk menyerahkan makanannya agar mereka bisa melahap sisanya.
Hari itu adalah pepaya parut dan susu murni, sehari sebelumnya itu adalah bubur sumsum.
"Ini, habiskan,"Kakek menyodorkan mangkuk ke arah cucunya. Dia terkekeh untuk meyakinkannya bahwa dia tidak kesal. Kenny meraih mangkuk dan berlari ke belakang sofa terpanjang. Dia bersembunyi dari sepupunya kalau mereka ternyata mencarinya.
***
Para pelayat mengelilingi tubuh Kakek. Kenny hanya menyisakan sedikit ruang antara dirinya dan peti mati sehingga pawai pelayat harus mengelilinginya juga.
Barisan pelayat tampak seperti tarian. Jenis tariannya yang melibatkan bahu yang gemetar, kaki yang terseret, dan sesekali mengolesi mata dan bibir dengan sapu tangan atau punggung tangan.
Beberapa penari duka lebih bersemangat daripada yang lain. Mereka dengan lantang menyatakan keinginan mereka untuk pergi bersama Kakek. Mamah Kenny adalah salah satunya.
Semua jadi ikut gila, pikir Kenny, sambil berjuang meredam emosi yang mulai mengisi relung dalam hatinya. Dia kembali memandang wajah mendiang kakeknya.
Masa kecilnya mengalir seperti banjir di benaknya. Kenny mengerutkan wajahnya seolah ingin bersin, atau menangis. Mungkin yang terakhir.
Suara yang keluar bukanlah isak tangis.
Tidak diragukan lagi, yang terdengar adalah ledakan tawa terbahak-bahak.
Bandung, 24 Februari 2023