Wanita itu menjawab pada dering kedua. Manajernya sangat ketat dengan aturan untuk itu.
"Selamat siang," katanya, dengan nada resmi. Lelaki penelepon meluncurkan kata-kata kasarnya sebelum dia punya waktu untuk bertanya bagaimana dia bisa membantu.
Berapa kali dia menyuruhnya untuk memeriksa semua jendela sebelum dia meninggalkan rumah? Siapa pun bisa masuk dan merampok seluruh isinya.
Perutnya mulas ketika dia mengingat kecerobohan. Dia tenggelam ke kursi saat dia menawarkan permintaan maaf, menutupi telinganya yang bebas dari kebisingan suara printer. Dia merasa pipinya panas.
"Perempuan bodoh,"' kata si lelaki dari seberang telepon. Dia tidak memberikan perlawanan. Matanya bergerak gelisah ke sekeliling ruangan. Dia merasakan telinga rekan-rekannya yang mengembang, mencoba menangkap gosip.
"Maaf," bisiknya lagi.
"Maaf,"Â si lelaki meniru dengan suara mengejek bernada tinggi yang tidak terdengar seperti suaranya.
"Apa gunanya minta maaf?"Â bentak si lelaki. Ada keheningan yang tidak bisa dia isi. Ketika dia berbicara lagi, kemarahannya hilang. Hanya ada keputusasaan sekarang. Dia mengira si wanita juga menyesal tentang semua hal lainnya.
Teleponnya basah oleh keringat, dan hampir terlepas dari tangannya. Dia menelan ludah beberapa kali.
"Hal lain apa?" tanyanya. Dia menghela napas, dan membayangkan si lelaki menutupi matanya dengan tangan kosongnya. Lelaki itu mengatakan padanya untuk tidak berpura-pura dia tidak tahu apa yang dia bicarakan.