"Kamu ingat SMA," katanya. Itu bukan pertanyaan.
Tentu saja. Baru tahun kemarin.
Dia harus mengakui bahwa itu benar, daripada menatapku seperti itu, seolah-olah dia dalam bahaya padahal mengatakan sesuatu yang terdengar manis.
Itu adalah risiko yang dia ambil, karena kadang-kadang cara seperti itu takkan berhasil.
Dia terdengar seperti cowok di film dengan cahaya lembut di sekitar wajahnya, pori-porinya terlihat tetapi ditaburi bedak ajaib menjadi lebih besar di layar dari kehidupannyata dan karena itu tampak kasar dan jujur.
Tapi di lain waktu dia benar-benar punya aura cahaya di belakangnya, memamerkan helaian rambutnya dan membuat tubuhnya tampak bagus. Dia bisa memelukku dengan kata-katanya yang konyol dan manis.
Saat dia seperti itu, aku bisa merasakan diriku melunak, dari pinggul bergelombang naik ke dada lalu turun ke lutut.
Atau kadang-kadang ada angin sepoi-sepoi yang menerpa kemejanya dan melekatkan kain ke badannya, memberi tampilan bocah ceking yang terasa begitu rapat menempel di tubuhku saat kami bersandar lekat, dan saat itu hal yang manis bahkan terdengar seksi. Dan aku membuatnya bersandar untuk mencoba menemukan posisi yang pas.
Kali ini, tidak ada angin sepoi-sepoi atau cahaya saat kami duduk di gudang rumah ibunya yang pengap.
Aku mencoba menatap matanya untuk melihat seberapa sering tatapannya jatuh di dadaku dengan bajuku terbuka dan tangannya bergerak naik turun sehingga menyapu payudaraku sambil lalu, seperti tak disengaja.
Semua berjalan lambat dan terhenti seperti saat pertama kali. Meskipun itu setahun yang lalu, dan kami tidak akan membayangkan kemudian menjadi lingkaran penuh diskusi setengah telanjang tentang apakah kami harus menikmati kesempatan terakhir atau membiarkannya pergi jauh untuk melakukan apa pun sebagai kerja musim libur kuliah.
Aku tidak menyangka bahwa itu akan menyakitkan, tetapi aku tidak melakukannya. Dan di sanalah aku, menginginkan sesuatu, tetapi mengetahui dia tidak dapat memberikannya kepadaku karena aku tidak tahu apa itu.
Aku berpikir untuk mengatakan sesuatu yang dramatis, berseru, aku ingat semuanya, bukan hanya SMA!
Tapi terdengar seperti aku tak bisa hidup di luar jangkauan tangannya, menghancurkan hati kami sehingga kami dapat memungutnya keping demi keping.
Mungkin masing-masing berakhir entah bagaimana dengan sedikit cinta yang masih berdetak.
Tapi saat itu, dia menghentikan tangannya, dan kupikir aku melihat senyuman bermain di wajahnya.
Beberapa menit kemudian, aku mendengarkan suara ban mobilku berdesir di sepanjang jalan yang lampunya memanjang masuk dan keluar dari sisi penglihatanku, berpikir  betapa mudahnya untuk belajar meninggalkan diri sendiri.
Bandung, 30 Desember 2022