Aku terdiam sejenak, memikirkan cerita Andir Bibir tentang Feri Said: pelukis, pemabuk, dan pembuat onar yang sangat ingin menjauhkan pengunjung dari pukatnya.
Aku bertanya-tanya ada hubungan apa antara Dr. Nasir, seorang dokter umum biasa, dengan seorang seniman seperti Bulbul Effendi.
"Kalau bukan karena dokter," lanjut Danar tanpa ditanya, "saya rasa Feri Said sudah jadi gelandangan. Dokter membeli beberapa lukisannya hanya untuk membuatnya terus hidup, saya rasa. Sepertinya lukisan Feri Said gadungan itu juga tidak bagus, dan saya berani bertaruh dia menghabiskan semua uangnya untuk minuman keras. Tapi dokter itu memang baik hati."
Cerita Danar terputus oleh kedatangan dari rombongan pelanggan tetap bar hotel Marbella yang dipimpin oleh Andir Bibir, yang omong besarnya sama sekali tidak berkurang.
"Nah, bagaimana dengan pelayanan untuk pelanggan tetap, Nar?" tuntutnya. "Atau kami semua balik ke Balai?"
"Kalau kalian sanggup minum racun tikus yang dijual Darmi di kios sana," jawab Danar mendengus penuh hinaan, "kamu boleh pergi sekarang juga!"
Aku bergeser sedikit hingga posisiku berada di samping Andir Bibir. "Bagaimana permainan gaplenya?" tanyaku.
"Mengerikan!" seru Andir dengan jijik. "Dikira dengan main curang bisa menang dengan gampang. Mang Owi balak enamnya kejepit melului, dan apa yang dia lakukan? Malah bikin balak lima punyaku nggak bisa jalan."
Aku tertawa. "Bagaimana kalau aku traktir minum?"
"Dosa kalau aku menolak," sambutnya dengan senyum lebar. "Aku mau bir."
"Aku dengar kamu tadi bicara tentang Feri Said," kataku "Kedengarannya seperti cerita yang bagus. Apa yang terjadi?"