"Nggak banyak," kata Andir. "Kami baru saja masuk dermaga ketika kedengaran ada pertengkaran di kapal tua itu. Tapi tternyata tidak ada siapa-siapa. Yang kelihatan Cuma si Tua Feri. Kami tidak dapat melihat siapa pun. Aku rasa Feri Tua lebih mabuk dari biasanya dan memecahbotol atau gelas. Belum pernah mendengar keributan yang begitu heboh sebelumnya."
"Feri Said ini sepertinya orang aneh," komentarku.
"Memang," Andir sepakat denganku. "Lebih tepat kalau disebut gila. Tapi aku akan menjauh dari dia lain kali. Aku tak sudi gara-gara mabuk lalu berkelahi dengan pemabuk tua itu lalu jatuh ke laut. Aku pernah sampai ke Pulau Christmas sekali dan itu sudah lebih dari cukup, terima kasih."
Terdengar suara telepon berdering. Segera Danar kembali ke bar. "Telepon untukmu, Han," katanya.
"Dari Jakarta?" tanyaku.
"Rasanya tidak. Kedengarannya seperti panggilan lokal, ada suara angin laut."
Aku meletakkan gelasku di meja bar dan menuju ke telepon.
"Halo, Handaka Prima bicara. Dengan siapa?"
Suara di ujung sana lemah dan gemetar, tapi aku langsung mengenalinya.
"Han, ini David. Kalau kamu ingin ketemu aku, kita bisa jumpa... sekitar setengah jam ..."
"Di mana?" aku cepat-cepat bertanya. Kali ini aku takkan membiarkannya lolos lagi.
BERSAMBUNG