***
Ataya menggelepar lasak dan gelisah di tempat tidurnya saat pikirannya membawanya ke tempat-tempat yang tidak ingin dia kunjungi. Mimpinya gelap dan keruh, basah kuyup dengan hasrat keinginan yang tersembunyi.
Dalam mimpinya, dunia berubah menjadi ruangan gelap hampa. Hanya dia yang ada di dalamnya.
Dia berdiri dan melihat sekeliling, tetapi kegelapan bagai bernyawa, menyelimuti dan hidup. Dia bisa merasakan detak jantung kegelapan bersamaan dengan detak jantungnya, memanggilnya. Merayunya dengan sangat lembut.
Di tengah ruangan sebuah bola kaca merah mengambang di atas telapak tangannya. Bola itu menyala bersimbah darah, bersinar penuh energi. Dia mendapatkan bola itu dari Niranjana beberapa bulan lalu, tapi dia tahu itu bukan karena dia adalah seorang penyihir yang baik. Penyihir Darah dan Air Mata tak menginginkan apa pun ... selain darah dan air mata.
Tapi apa yang dikatakan Niranjana pada hari sidang lajnah itu benar. Attaya butuh menemukan jati dirinya sendiri, menjadi penyihirnya sendiri, meskipun Citraloka menahannya dan menyuruhnya untuk bersabar.
Selalu memintanya untuk bersabar.
Ataya sudah lelah bersabar.
Dia mengulurkan tangannya untuk meraih bola, dan ... ruangan itu memudar menjadi biru, dan dia berada di dasar laut yang dalam dengan ikan-ikan hiu berenang di sekitarnya.
Ataya menahan napas dan berputar dan berputar. Pertanyaan bergema dalam benaknya. Apa yang bisa menakuti hiu?
Dua sosok tubuh berenang ke arahnya. Meski Ataya tidak bisa melihat mereka dengan jelas sejelas merasakan kehadiran mereka, nafsu purba yang mereka pancarkan menyapu dirinya. Mata mereka sewarna dengan air, dan tampaknya mereka adalah perempuan, padahal sebenarnya bukan.