Yang berdiri di hadapanku bukan lagi seorang manusia yang kukenal. Bukan lagi seorang arkeolog, kolega, atau teman. Dia menjadi lebih dari manusia, dan pada saat yang sama, menjadi kurang manusia.
Dia membentangkan tangannya ke luasnya ruangan dan melihat kembali padaku. Di belakangnya ada sesuatu yang menggeliat dalam kegelapan, sesuatu yang besar dan tak masuk logika.
Sebelumnya aku tak mampu bergerak sampai sekarang, dan akhirnya dengan sekuat tenaga aku bisa.
Aku berbalik dan berlari, berlari melewati gerbang lengkung Anatolia setinggi tiga lantai. Melewati tiang-tiang besar yang diukir menjadi pola-pola fantastis dan menuju lubang kecil yang menjadi jalan masuk kami.
Aku menyelam ke dalamnya. Baju bahkan kulitku robek compang camping dan aku mencakar jalan ke luar. Aku tidak bisa maju, tahu bahwa harus memperbesar lubangnya agar bahuku bisa muat.
Jantungku berdegup kencang, mataku kabur dan perih karena keringat, atau mungkin darah. Kakiku merangkak melewati terowongan sepanjang dua meter itu.
Tetapi aku dipaksa untuk melihat ke dalam kegelapan. Dengan mata tegang berusaha membedakan bentuk dan sosok. Obor di tanganku padam. Tubuhku terjepit di lubang, satu-satunya jalan masuk cahaya.
Kuku tangan patah, jari-jari berdarah, dan otot-otot melemah.
Aku sadar kalau aku menangis. Aku terjebak lagi.
Kemudian dari kejauhan aku mendengar suara kaki berlari, derak paku di lantai saat sesuatu datang dari kegelapan ke arahku.