Hari-hari ini ketika aku terbangun, rasa jahe yang samar tertinggal di belakang tenggorokanku.
Aku menghabiskan berjam-jam di pagi hari menyaksikan sinar matahari meluncur melalui gorden yang tertutup debu, warnanya mengingatkan pada liburan pantai yang dipenuhi pasir dari masa kecilku.
Perjalanan hari ini bukan ke pantai.
"Mungkin sebaiknya kita tidak membawa jeruk," istriku berkata sambal berjalan ke kamar tidur. Menggelung rambutnya yang meluncur melewati pundak. Dia berbicara tentang es loli rasa mangga, khususnya yang cocok dengan perjalanan panjang Agustus di KIA Pinto mereka AC-nya rewel.
Istriku bertanggung jawab atas perencanaan rute dan aku bertugas mengepak, tetapi makanan ringan selama perjalanan membutuhkan persetujuan dua orang. "Atau, apakah rasa ceri lebih baik?"
Aku mengangguk.
Ibuku sering bercerita tentang bunga Sakura di Ueno, bagaimana kelopaknya berputar dan jatuh, menutupi tanah meronai salju. Aku yang berusia lima tahun membayangkan udara di Tokyo beraroma manis dan sejuk seperti es loli ceri.
Setiap kali aku bertanya apakah itu benar, ibu akan menghentikan apa pun yang sedang diirisnya. Entah timun, daun bawang, jahe, apapun untuk membumbui fillet ikan dori dari supermarket. Ibu menghela napas Panjang dan mengingatkanku untuk mengerjakan pekerjaan rumah matematika. Matematika itu mudah bagiku. Aku tahu bahwa aku adalah hasil pembagian. Hasil yang didapat dari pembelahan sel antara ibu dengan pria yang pergi sebelum aku lahir.
Aku ke kamar mandi sambil mengucek mata dan mengemas perlengkapan mandi. Untuk semalam menginap. Sikat gigi. Pisau cukur. Obat alergi. Pasta gigi khusus untuk gigi istriku yang sensitif. Pelindung untuk mencegah gemeretak gigi.
Aku berharap koper berikutnya nanti yang akan kami kemas bersama adalah untuk tempat yang jauh seperti Maroko atau Mesir.