Perempuan itu tersenyum. "Semua cerita yang pernah diceritakan berasal dari kebenaran," katanya, dan melihat ke langit yang menaburkan semburat cahaya oranye di latar lembayung biru tua
Lalu, dengan tenang dia meneruskan kata-katanya, "Cerita adalah tempat kenangan berdiam saat kita melupakannya."
Dia terus memandang ke langit, dan anak-anak saling memandang dengan gugup. Perempuan tua terkadang melakukan itu, menatap jauh melampaui ruang hampa. Sepertinya tubuhnya ada di sana, tetapi pikirannya berkelana ke tempat dan waktu yang berbeda.
Hening terbungkus keraguan, sampai akhirnya keraguan dan kemudian, "Bibi," suara Enah lirih membelah keheningan.
"Cerita ini," wanita tua itu tersentak, "berasal dari masa lalu, saat kalian belum lahir, dan mungkin orang tua kalian juga belum lahir. Katakan padaku karena aku lupa, siapa yang berkuasa sekarang?"
"Prabu Bratasenawa," jawab Nyonyon. Dia adalah yang paling kuat dari mereka. Tak terhitung berapa banyak tongkat rotan yang patah di punggungnya.
Wanita tua itu mengangguk dan tersenyum. "Sanna," katanya, "dia masih anak kecil saat itu. Tidak lebih besar dari kalian semua."
Anak-anak terkikik mendengarnya, membayangkan patih agung membungkuk seorang anak seperti mereka. Wanita itu melanjutkan, "Ayahnya sebelum dia adalah Prabu Suraghana atau Rahyang Mandiminyak. Suraghana seperti namamu, bocah," dia menunjuk Nyonyon. "Nama itu penting sebagai harapan yang dapat memberi pertanda masa depan seseorang."
Nyonyon berseri-seri dan berdiri dengan kedua tangan di pinggangnya. "Apa kalian berdua dengar?" dia berkata. "Bibi bilang aku akan jadi raja!"
"Jangan konyol, Nyonyon," tegur Enah. "Hanya seseorang dari garis keturunan raja yang bisa menjadi raja."