Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rusunawa (Bab 9)

23 Agustus 2022   21:51 Diperbarui: 23 Agustus 2022   22:06 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata suaminya dengan senyum terpajang di wajah yang bersinar bahagia saat melihat istrinya menatap tanpa berkedip, sampai Papa Rano membalikkan tubuh istrinya agar menghadap ke arahnya.

"Ini bukan kebiasaanmu. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Papa Rano.

Tubuhnya oleng sebelum akhirnya dia mendapatkan kembali keseimbangannya dan memeluk suaminya di pinggang. Wajahnya bersinar sambil tersenyum. "Oh, sayangku, apa kabar?" tanya Mama Rano mengencangkan pelukannya.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Sudah larut malam. Sepertinya kamu asyik melihat orang-orang yang bercengkerama dalam cahaya lilin," kata Papa Rano. Dia berbalik dan melihat sekeliling sambil menahan senyum.

Dia meletakkan tangannya di bahu istrinya dan mereka berjalan pulang. Tangan mereka saling menggenggam dan berayun seirama langkah kaki. Sambil berjalan, keduanya berbisik-bisik mesra. 

Baru saja berjalan beberapa langkah, suami istri itu dihentikan oleh dua pemuda yang memegang botol di tangan mereka. Tubuh dua orang pemabuk itu terhuyung maju mundur, sambil mencoba memasang ritsleting celana. Orang pasti akan mengira mereka baru saja selesai buang air kecil.

"Apa kabar, Om?" sapa salah satunya, sementara tangannya yang memegang botol mengambang di udara.

"Baik, kalian?" balas Papa Rano sambil melambaikan tangan.

Mama Rano tersenyum tipis, dan menyibakkan rambutnya tergerai sambil mundur perlahan.

"Bos, bagi dikit dong, buat makan," yang satunya berkata.

Papa Rano menggelengkan kepalanya dan hampir saja memasukkan tangannya ke dalam saku, tetapi kemudian sadar bahwa dia tidak membawa apa pun yang kurang dari lembaran lima puluh ribuan, itu pun hanya empat lembar atau malah kurang dari empat. Dia tidak punya cukup uang untuk diberikan kepada orang-orang ini. Hanya dua ratus ribu dan dia tidak bisa menyisihkan itu. Mereka tak akan berhenti menggangguku saat mereka melihatku lain kali, pikirnya. Dia memberi isyarat kepada istrinya sambil mengamati kedua pemabuk itu dengan cermat, memperhatikan bagaimana mata mereka terpaku padanya sementara mulut mereka komat-kamit. Dia menduga mereka membayangkan jumlah yang akan dia keluarkan dari sakunya.

Mama Rano menyerahkan selembar sepuluh ribuan yang dia genggam di tangannya kepada suaminya.

"Ini," kata Papa Rano sambil mengulurkan tangannya. Kedua berandalan itu menyambut ulurannya, tapi yang kedua meraihnya lebih dulu.

Sambil tertawa, mereka melambaikan tangan. Mama Rano dan suaminya membalas isyarat mereka.

"Aha! Om, pemerintah emang baik sama pegawai. Om pasti tahu. Om dan istri silakan menikmati malam."

"Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih ...." Papa Rano terus bergumam dengan tangan menggapai udara. Mama Rano tersenyum lebar.

Sesampai di kediaman mereka, lampu telah menyala. Papa Rano duduk di tempat tidur sementara istrinya menyimpan tas kerjanya di dekat lemari. Dia berdiri di samping sambil menunggu suaminya selesai melepas pakaian.

Yang pertama dilakukan suaminya adalah melepaskan sepatunya, lalu mengendurkan dasinya sebelum melepaskannya. Mama Rano mengambilnya satu per satu sampai akhirnya suaminya selesai melepaskan pakaian dan dia menyajikan makanan untuknya.

Dia duduk di samping suaminya dan mengawasinya menyuap makanan perlahan. Sambil menemani suaminya makan, dia menatap anak-anak mereka. Rano mendengkur pelan, sementara Suti bergerak sedikit di setiap interval.

Mama Rano tersenyum saat melihat mereka dengan gembira. Mereka adalah sumber kebahagiaannya. Ketika dia mengira dia hampir berputus asa, anak-anaknya mengingatkannya bahwa selalu ada harapan dan dia tersenyum lebar, memamerkan celah giginyanya. 

Suaminya adalah belahan jiwanya. Mereka selalu bergandengan tangan, bahkan saat pikiran mereka saling bertolak belakang.

BERSAMBUNG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun