Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Legenda Sang Perusak (Bab 3)

7 Agustus 2022   18:47 Diperbarui: 7 Agustus 2022   18:48 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Kuntum memegang pundaknya dan mengguncangnya kuat-kuat. Rasa sakitnya berlipat ganda melampaui batas toleransinya.

Awang mencoba melupakan rasa sakit dengan memikirkan hewan berkaki banyak yang mungkin telah mengebor masuk ke tengkorak dan memakan otaknya. Dia memaksa membuka matanya dan langsung disambut sinar matahari yang menyilaukan. Dengan susah payah, dia berhasil mengangkat kepalanya.

"Awang, kamu baik-baik saja?" Kuntum memohon. Air mata mengalir di pipinya dan getar suaranya terdengar panik bahkan bagi Awang yang masih bingung dan setengah sadar.

"Uhhh...." Suaranya sendiri menghantam gendang telinga. Buah semangka yang menjadi kepalanya berdenyut-denyut.

"Kurasa tidak...." Dia memaksa menjawab sebelum kegelapan kembali menelannya.


Bau kuah satai daging rusa basi yang memuakkan menggantikan rasa nyeri. Tiba-tiba langkan batu alas yang menahan tubuhnya berguncang menambah rasa sakit di benaknya yang babak belur. Serangga berkaki banyak entah bagaimana telah melakukan kerusakan besar!

Getaran hebat membuatnya takut untuk membuka matanya lagi, dan dia samar-samar menyadari bahwa Kuntum tidak lagi menatapnya dari atas wajahnya, kalau tadi memang benar Kuntum, bukan khayalannya. Rasa sakitnya menjadi begitu parah sehingga dia percaya dia benar-benar bisa merasakan arus derita yang membakar mengalir di sekujur tubuhnya. Seluruh dunia di sekitarnya bergetar dengan raungan mengerikan yang membuatnya merasa kematiannya sudah dekat, dan dia dengan jelas merasakan kuah satai daging rusa basi memenuhi liang hidungnya sampai mati lemas.

Apa yang dirasakan sepertinya takkan pernah berakhir, tetapi kenyataannya hanya beberapa menit kemudian, segala sesuatu berangsur tenang, memperlambat longsoran batu kerikil yang dengan menghujani Awang dan Kuntum.

Menurut laporan Lembaga Cuaca Negara, gempa 8,2 SR hari itu merupakan gempa terbesar yang pernah terjadi di Kerajaan Melayu Raya, dan belum pernah terjadi di daerah itu seumur hidup. Laporan mengatakan, akibat gempa, air laut mendesak masuk ke Batang Kuantan sampai sejauh tiga puluh kilometer. Bangunan di wilayah sekitar nyaris luluh lantak. Namun, terdampar di langkan 30 meter dari puncak bukit, 300 kilometer dari episentrum gempa, jauh dari hal pertama di pikiran Kuntum.

Awang menggigil kedinginan, dan dilihat dari benjolan yang membengkak di dahinya, setidaknya suaminya mengalami gegar otak.

Meskipun dia sendiri tidak terlatih medis secara formal, tahun-tahun hidupnya yang dia habiskan bersama Awang, melihat Awang terbaring tak sadarkan diri membuat Kuntum mengerti beberapa pengetahuan dasar yang cukup untuk membuat daftar kemungkinan yang sangat menakutkan ke kepalanya . Dia sadar, terkadang sedikit pengetahuan bisa menjadi hal yang buruk.

Dengan lembut, Kuntum mengangkat kepala Awang. Dia mendapatkan rambut Awang benar-benar kering dan kepalanya tidak mengucurkan darah. Dia mencoba yang terbaik yang bisa dia lakukan untuk memindai kerusakan yang kasat mata, tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang jenis trauma. Kemampuan untuk menemukan bukti keberadaan mereka adalah dua hal yang sangat berbeda, dan yang terakhir jauh di luar sekadar ilmu yang dipunyainya.

Keragu-raguan dan ketidakpastian memenuhi pikirannya saat rasa tidak berdaya menghadapi situasi ini perlahan-lahan menyelimuti dirinya.

Kamu yang dokter, sialan! Mengapa kamu siuman dan melakukan sesuatu untuk dirimu sendiri?

Air matanya menggenang saat saat-saat kehidupan mereka melintas di benaknya. Seandainya dia tidak begitu ketakutan selama gempa, Kuntum akan melihat mata Awang berputar hingga putih semata dan gerakan kejang-kejang yang menggetarkan tubuhnya hampir bersamaan dengan getaran bumi. Kejang itu sesingkat gempa, tetapi sama meresahkannya.

Awang belum pernah mengalami kejang yang parah sejak terbangun dari komanya setelah tragedi jalan bebas hambatan antar bangsa. Sampai sekarang, episode 'bau kuah satai rusa basi' hanya mendahului penurunan kesadaran yang sebagian besar berumur pendek. Kemudian frekuensinya menjadi cukup sering, membuatnya mempertanyakan kemampuannya sendiri untuk mengemudi pada beberapa kesempatan sejak koma. Dia terlalu sadar akan dampak kehilangan SIM dan kemampuannya untuk berpraktik serta kehidupannya secara umum, dan sengaja tidak menindaklanjuti dengan spesialis saraf setelah meninggalkan rumah sakit karena alasan-alasan itu. 

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun