Malaikat menempel di jendela, jubah warna-warni bergoyang dan berdengung seperti lalat sampah.
Mengawasi si sakit dengan mata berbinar, malaikat datang pada malam hari membentangkan sayap berdebu menembus kaca, menulis namanya di serbuk mutiara.
Malaikat paling mungil berjalan di ambang jendela, membuka cangkang polkadot merah pamerkan sayap berasap dan menyeretnya selayak bayangan.
Makhluk bersayap lain juga datang untuk merebut jiwa. Kamu tahu siapa dia, bertanduk kecil dengan sayatan angin, terbuang dari surga, siap menyesap jiwa orang sakit dengan sedotan. Jari-jarinya putih berkedut. Kumis dan janggut basah keringat.
Mereka menanti saat yang sama. Menguji udara dengan kaki berbulu, mendeteksi arus napasnya. Antena menangkap hening.
Dia terus bernapas, bergerigi keluar masuk. Gunung-gunung dan lembah-lembah hancur, abunya memenuhi langit di rongga mulut.
Segerombolan titik yang tidak terhubung, bintik buta, nyamuk yang melayang-layang di antara bibirnya. Menghirup, menelan, menghembuskan abu.
Sayap-sayap yang gelisah dan bergetar. Malaikat menakar seberapa banyak yang dapat mereka bawa:Â
beratnya debu dan bayangan, beban ingatan. Padat cinta dan benci. Rantai rasi bintang kusut kemelut.
Bintang-bintang sekarat berdenyut di awan hijau retina. Malaikat beredar, berkelap-kelip di sekitar dia.
Bandung, 8 Juni 2022