Dia dipanggil Gadis Arang, atau Upik Abu, atau sesuatu yang mirip. Sudah beberapa abad sejak kejadian itu, dan nama manusia begitu tak menarik, singkat, gampang larut dalam kenangan.
Sampai di mana tadi? Ah ya, gadis yang bersimpuh di depan tungku dapur. Nah, kamu tahu ceritanya. Ada seorang gadis yatim piatu yang menyedihkan dengan dua saudara tiri yang manja dan ibu tiri yang jahat. Ada seorang pangeran, tampan seperti matahari pagi dengan semua kecerdasan dan otak lalat. Ada pesta dansa, gaun, dan sepasang sepatu yang sangat tidak nyaman dipakai.
Aku minta maaf untuk menyampaikan bahwa tidak ada yang namanya ibu peri. Yang ada hanya aku.
Sebenarnya ini kesalahan ibunya yang sudah meninggal. Dialah yang memberinya cerita pengantar tidur, dongeng tentang makhluk jahat yang tinggal di mendiami api putih dan nyala bara. Yang mengintai di perapian menunggu mereka yang bodoh atau cukup putus asa untuk melakukan tawar-menawar dengan salah satu dari mereka.
Dan dia tidak bisa disalahkan atas mantra yang memanggilku keluar. Aku membisikkannya kepada gadis itu selama bertahun-tahun, kata demi kata, dari perapian di dapur saat dia memasak makan malam setiap malam. Terlalu lembut dan subliminal untuk dia sadari, sampai dia menyenandungkannya perlahan tanpa menyadari beban di lidahnya.
Ada begitu banyak kesempatan untuk dia memanggulku. Saat ibunya meninggal. Saat ibu tirinya menghajarnya untuk pertama kalinya.
Tapi tidak, dia memanggilku untuk mengobrol.
"Apa yang kamu cari, Nak?" Aku bertanya padanya dari nyala api, suaraku berdenting dalam hujan bunga api musim ceri.
"Aku ingin pergi ke pesta dansa," katanya.
Nada pahit segumpal daging di bibirnya. "Aku ingin menjadi cantik, hanya untuk semalam ini."