Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 41: Nol

23 Januari 2022   07:26 Diperbarui: 23 Januari 2022   07:29 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Cakra Yudha, kamu tidak akan pernah mendapatkan apa-apa!"

Denna Citra berdiri dengan tangan mencengkeram kuat pinggir roknya. Kakinya tertanam dalam gembur tanah gelap barisan tanaman kubis. Matanya membelalak selebar-lebarnya sebagai ekspresi kemarahan besar anak perempuan tujuh tahun.

"Kamu takkan pernah menang undian, dan takkan pernah jadi presiden... Kamu hanya akan menjadi NOL BESAR!"

Bagai disengat listrik tegangan tinggi, Cakra terlonjak mundur menerima kutukan dari gadis kecil itu. Kakinya tersandung gundukan rumput kering, membuatnya mendarat dengan suara gedebuk di tanah.

Ia tidak bermaksud jahat. Ia hanya menarik kepang rambut Denna, dan dua hari sebelumnya memasukkan ular karet ke dalam tas sekolah gadis itu. Jadi, sebenarnya Denna berhak untuk marah. Tapi ia menggodanya karena suka melihat mata gadis kecil itu membelalak dan hidungnya kembang kempis menahan emosi..

Banyak yang berpendapat bahwa sudah bawaan sejak lahir, tapi Cakra bependapat bahwa kesialan di mulai di antara tanaman kubis kebun sekolah, saat pantatnya berada di ranah dan rumput kering dan siluet tubuh Denna yang berdiri membelakangi terik matahari bulan Juli.

Sejak hari itu, kesialan selalu mengikutinya dengan setia. Kecuali ia merekatkan uangnya dengan lem di antara bukunya, maka jatah jajannya akan hilang jatuh entah di mana. Ia tak pernah mencetak gol saat bermain sepak bola. Bu Tati memberi nilai 0 untuk setiap ulangannya, sebelum memutuskan berhenti memeriksa kertas ulangannya.

Cakra membenci sekolah. Namun ia tak pernah bolos, karena saat menjalani hukuman berdiri di samping papan tulis, ia bisa menikmati tatapan Denna yang seakan sedikit menyesal atas apa yang pernah dikatakannya.

Tiga tahun kemudian, ketika anak-anak lain mulai bermain sepeda, Cakra menggunakan gergaji ayahnya untuk memotong kayu bekas menjadi balok mainan dan menyusunnya menjadi menara yang begitu tinggi sehingga ia harus berdiri di atas kursi. Ia membangun menara begitu tinggi dengan lengkungan dan penopang dan seluruh platform yang mencakup panjang dapur.

"Ini tidak akan jatuh kecuali kamu mendorong puncaknya," katanya kepada Denna yang datang mengembalikan rantang yang kemarin berisi bubur sumsum kiriman ibu Cakra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun