Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 33: Sepuluh - Empat Puluh Tahun Kemudian

28 November 2021   09:00 Diperbarui: 28 November 2021   09:02 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada kencan ketiga kami, tepat di tengah taman manula---dia yang memilih tempat ini dan aku setuju saja karena tidak mungkin aku mengatakan tidak padanya---aku berbisik, " Aku mencintaimu."

"Aku mencintaimu, Penelope, dan itu membuatku sakit kepala," kataku.

"Apa?" dia bertanya dengan mimik ketakutan, seolah-olah itu adalah hal terburuk yang bisa dikatakan seseorang kepadanya.

"Aku mencintaimu," aku mengulanginya lagi dengan suara padat dengan sangat bersemangat.

"Tidak bisa," katanya tegas. Penelope memang begitu, mengucapkan hal-hal dengan jelas seolah-olah itu adalah fakta dan tidak boleh diperdebatkan.

"Buktinya aku bisa."

"Tidak, kamu tidak bisa!" Dia nyaris berteriak, dan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Mengapa tidak bisa?" aku bertanya bingung.

Dia menarik napas dalam-dalam dan berjalan mondar-mandir sebelum menghadapku, seolah-olah mengumpulkan semua keberanian yang dia miliki untuk menjawab pertanyaanku.

Buatku ini aneh. Penelope yang kukenal adalah orang yang tak pernah mengenal takut. Aku pernah melihatnya mendaki tebing curam dan terjun payung dari pesawat, dan ini masih kencan ketiga kami.

"Aku mengidap Alzheimer. Maksudku, aku berpotensi untuk mengidap Alzheimer. Keturunan, ada dalam gen. Mama mengidap Alzheimer dan nenek dari mama mengidap Alzheimer. Suatu hari nanti aku tidak bisa mengingatmu,  Him, dan itu akan menjadi peristiwa yang paling menyedihkan dalam hidupku."

Aku terdiam cukup lama sebelum berhasil mengucapkan kata-kata, "Kapan Alzheimer akan muncul?"

"Mungkin sepuluh tahun lagi. Mungkin dua puluh. Siapa yang tahu?"

"Aku bisa mati besok," kataku. "Bisa saja aku ditabrak bus besok atau kejatuhan meteor. Jadi, sepuluh tahun dibandingkan dengan itu buatku adalah anugerah."

"Enggak lucu," protesnya.

Aku merengkuhnya ke dalam pelukanku.

Tentu saja aku tahu ini tidak lucu. Aku ingin dia mengingatku empat puluh tahun ke depan. Aku ingin dia memberi tahu cucu-cucu kami bahwa saya tidur mendengkur, tetapi itu bukan sesuatu yang bisa dipastikan sekarang, karena apa yang mungkin terjadi dalam 10 tahun jelas tidak mungkin dibayangkan.

Jadi aku berbisik ke telinganya, "Jangan biarkan apa yang mungkin terjadi besok merampas kebahagiaan kita sekarang. Aku mencintaimu. Hari ini. Detik ini. Aku mencintaimu. Dan selama ada 'sekarang', aku akan mencintaimu. Dan ketika sepuluh tahun menjadi 'sekarang', dan kamu mungkin lupa, aku akan mengingatnya untuk kita berdua. Ini janjiku."

Penelope membenamkan wajahnya ke dadaku. Air mata bercampur ingus membasahi kemejaku saat dia menjawab dengan suara sengau, "Aku suka janjimu."

Bandung, 28 November 2021

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun