Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 29: Malu

31 Oktober 2021   09:00 Diperbarui: 31 Oktober 2021   09:09 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kikan sudah terbiasa malu-maluin.

Ambil contoh pagi ini. Orang pasti berpikir bahwa sesuatu yang sederhana seperti membuang sampah mustahil akan menjadi peristiwa yang membuat malu ... kecuali jika kamu membawa tempat sampah ke sudut gedung apartemen tepat ketika tetanggamu yang imut dan lajang, Piyu, datang ke arah lain, dan secara tidak sengaja kamu menabrakkan tempat sampahmu ke selangkangannya, sehingga dia harus mundur. Sambil memegang selangkangannya, dia berkata, "Hei! Hei, Pingkan! Tempat sampahmu ternyata senjata yang mematikan!"

Meskipun dia mengatakannya sambil tersenyum, kejadian ini mebuat rasa malu level sebelas dari maksimum sepuluh. Sudah cukup buruk untuk menabraknya dengan tempat sampah, tetapi apakah harus tepat mengenai selangkangannya? Dan apakah itu harus menjadi momen khusus ketika dia menemukan bahwa Piyu bahkan tidak tahu namanya, terlepas dari kenyataan bahwa Kikan telah mengkhayal tentang dia selama berminggu-minggu, sejak cowok itu pindah ke apartemen satu lantai di bawahnya?

Dan ketika kemudian ketika dia melihat ke bawah, tampak pembalut bekas tergeletak di tempat sampahnya, dengan majalah Men's Health usang dengan sampul pria gondrong bertelanjang dada tepat di bawahnya. Mata Kikan kembali ke wajah Piyu dan melihat cowok itu menatap lurus ke pembalut bebas meski tak bernoda dan majalah itu juga, lalu mengangkat kepalanya sehingga mata beradu mata.

Tentu saja wajah Kikan mulai memerah hingga merah gosong, tepat seperti yang dia lakukan setidaknya dua puluh kali sehari. Ini adalah sensasi yang akrab. Kikan memiliki bakat untuk mempermalukan dirinya sendiri. Lebih tepatnya, dia adalah ratu rasa malu.

Baru kemarin, dia menumpahkan kopinya ke meja bosnya, tepat saat bosnya mencoba memujinya atas proyek yang baru saja dia selesaikan. Sehari sebelumnya dia berjalan setengah jalan di mal sebelum seorang wanita tua yang baik menghentikannya dan mengatakan bahwa gaunnya terselip di celana dalamnya di belakang. Pasti terjadinya setelah dia mencoba pakaian di department store.

Artinya, dia baru saja memamerkan pantatnya ke sekitar tiga ratus orang saat melintas di food court.

Satu atau dua hari sebelumnya, dia berkomentar positif tentang penampilan terbaru rekan kerjanya, sampai kemudian mengetahui bahwa suami perempuan malang itu meninggal mendadak beberapa minggu sebelumnya, dan dia mengenakan pakaian hitam setiap hari sebagai tanda berkabung, bukan karena mengikuti fashion terbaru.

Ada lusinan insiden kecil di sepanjang jalan: menginjak kaki anjing pemandu orang buta di persimpangan, masuk ke toilet pria secara tidak sengaja di bioskop, menjalankan mobil saat moncong bahan bakar masih berada di tangki mobil di pompa bensin ... untung ada lelaki yang bertindak cepat melompat di depan mobilnya, meskipun lelaki itu membuatnya kaget setengah mati ketika dia memukul kap mobilnya dengan tangan.

Dan tentu saja, pada setiap peristiwa itu, pipinya memerah semerah merah yang biasa, sesuatu antara warna arum manis dan jus stroberi, yang butuh waktu lama untuk memudar dari kulit putih mulusnya.

Kikan memiliki bakat  malu sejak dia masih kecil. Sepertinya dia telah menghabiskan seluruh hidupnya dengan malu, sedemikian rupa sehingga hampir rasa permanen. Saat-saat singkat di antara pemicu malu dan rasa terhina yang dipenuhi dengan antisipasi kegelisahan, ketika dia menunggu kedatangan peristiwa memalukan berikutnya yang tak mungkin terhindarkan. Jadi sekarang, saat dia berdiri di depan Piyu dengan tempat sampah yang baru saja membongkar aibnya terpaku di antara kedua kakinya, rasanya hampir melegakan saat dia kehangatan mulai mengalir ke lehernya dan ke wajahnya. Dia menunggu rasa malu menguap keluar dari pori-porinya dan mengendap ke dalam jiwanya.

Kemudian, hal yang luar biasa terjadi.

Dia memandang Piyu dan melihat bahwa wajah cowok itu juga berubah warna. Bahkan, wajahnya lebih merah dari rekor merah yang pernah dia capai.

Mereka saling menatap untuk waktu yang lama, seperti dua bunglon dalam pertandingan perubahan warna. Lalu mereka berdua tiba-tiba tersenyum pada secara bersamaan. Ada keheningan yang syahdu, dan Piyu berkata dengan lembut, "Wow! Malunya kamu hampir sama baiknya denganku!"

Senyum Kikan mengembang menjadi seringai lebar. Dia merasakan wajahnya tak lagi panas membara. Untuk pertama kali dalam hidupnya,

Kikan tidak merasa malu sama sekali.

Bandung, 31 Oktober 2021

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun