Kikan memiliki bakat  malu sejak dia masih kecil. Sepertinya dia telah menghabiskan seluruh hidupnya dengan malu, sedemikian rupa sehingga hampir rasa permanen. Saat-saat singkat di antara pemicu malu dan rasa terhina yang dipenuhi dengan antisipasi kegelisahan, ketika dia menunggu kedatangan peristiwa memalukan berikutnya yang tak mungkin terhindarkan. Jadi sekarang, saat dia berdiri di depan Piyu dengan tempat sampah yang baru saja membongkar aibnya terpaku di antara kedua kakinya, rasanya hampir melegakan saat dia kehangatan mulai mengalir ke lehernya dan ke wajahnya. Dia menunggu rasa malu menguap keluar dari pori-porinya dan mengendap ke dalam jiwanya.
Kemudian, hal yang luar biasa terjadi.
Dia memandang Piyu dan melihat bahwa wajah cowok itu juga berubah warna. Bahkan, wajahnya lebih merah dari rekor merah yang pernah dia capai.
Mereka saling menatap untuk waktu yang lama, seperti dua bunglon dalam pertandingan perubahan warna. Lalu mereka berdua tiba-tiba tersenyum pada secara bersamaan. Ada keheningan yang syahdu, dan Piyu berkata dengan lembut, "Wow! Malunya kamu hampir sama baiknya denganku!"
Senyum Kikan mengembang menjadi seringai lebar. Dia merasakan wajahnya tak lagi panas membara. Untuk pertama kali dalam hidupnya,
Kikan tidak merasa malu sama sekali.
Bandung, 31 Oktober 2021