Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 22: Menunggu Godot

12 September 2021   09:00 Diperbarui: 12 September 2021   10:55 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
radarbali.jawapos.com

Bertahun-tahun yang lalu, saat masih kuliah di Yogya, aku menyukai gadis yang kukenal pada suatu malam di sebuah bar tempat kongkow mahasiswa di Prawirotaman.

Dia dari Institut Seni Jurusan Seni Drama dan apa yang kuketahui tentang drama tak lebih dari dua kata.

Aku sendiri mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian. Sebenarnya aku kuliah untuk membuat ibuku bahagia. Aku tahu bahwa saya akan kembali ke kampung halaman untuk bekerja di pertanian keluarga segera setelah menjadi sarjana. Tapi gadis ini, dia adalah gadis tercantik yang pernah kulihat dalam hidupku, jadi aku berusaha mati-matian untuk terlihat tertarik saat dia berbicara tentang drama yang pernah dia mainkan dan tentang aktor terkenal yang ingin dia temui suatu hari nanti.

Akhirnya, setelah beberapa gelas bir, aku memberanikan diri untuk mengajaknya kencan, dan di luar dugaanku, dia menjawab ya ... dengan satu syarat. Dia ingin aku membawanya untuk menonton sebuah drama yang judulnya aneh, "Menunggu Godot".

Dengan mengenakan kaus Hammer terbaikku, sepatu Warrior dan kemeja flanel kotak-kotak longgar, aku duduk menonton tanpa mengerti sedikit pun isi pertunjukan itu. Tapi gadis seni drama duduk di sebelahku, kulitnya tampak begitu mulus di sorot cahaya dari panggung, dan matanya bersinar saat dia melihat, dan dia berbau harum. Jadi aku menyimak dengan sungguh-sungguh kata per kata.

Lakon sandiwara yang aneh, kalau kalian bertanya apa pendapatku. Tentang dua orang yang mengenakan topi aneh dan nongkrong di tempat barang rongsokan atau semacam itu, berbicara satu sama lain tentang hal-hal yang tidak masuk akal sama sekali. Aku tidak mengarang atau melebih-lebihkan. Kedua orang ini hanya berbicara omong kosong. Aku mengira mereka sedang menunggu seseorang bernama Godot, tetapi Godot tidak pernah muncul. Ada beberapa orang lain yang muncul selama beberapa menit tetapi lebih banyak hanya dua orang dengan topi aneh itu.

Aku melihat ke sekeliling dan ternyata orang lain tersenyum dan mengangguk, membuatku merasa seperti orang udik yang bodoh.

Di akhir pertunjukan, gadis seni drama itu bertanya apa pendapatku. Aku meraba-raba mencari jawaban.

"Benar-benar tidak biasa," kataku. Dia tersenyum dan membiarkanku mengantarnya kembali ke asramanya. Aku mengucapkan terima kasih padanya untuk malam itu dan terkejut ketika dia mencium pipiku sebelum mengucapkan selamat malam.

Minggu berikutnya liburan semester. Aku pulang ke rumah untuk membantu ayah di lahan pertanian. Saat membawa traktor membajak di sawah orang sekampung yang kukenal dengan baik, pikiranku terus saja kembali ke drama itu. Sungguh mengherankan ketika ternyata aku hafal beberapa baris dialog. "Kita menunggu. Kita bosan. Tidak, jangan protes, kita bosan setengah mati, tidak salah lagi."

Wah, dialog itu terbawa ke rumah setelah membajak beberapa puluh hektar. "Tapi bukan itu pertanyaannya. Mengapa kita di sini, itu pertanyaannya."

Aku tidak pernah bertanya-tanya tentang hal semacam itu sebelumnya, tetapi sekarang itu menggangguku.

"Kita punya waktu untuk menjadi tua. Udara penuh dengan isak kita. Tapi kebiasaan adalah obat yang mujarab."

Berpikir tentang kebiasaanku, kemudian berpikir tentang si gadis seni drama, dan bertanya-tanya apakah dia memiliki kebiasaan. Dan kemudian ada satu baris dialog lagi yang kuingat. "Jangan buang waktu kita dalam wacana kosong! Mari kita lakukan sesuatu, selagi kita punya kesempatan! Tidak setiap hari kita dibutuhkan."

Jadi ketika liburan berakhir, aku kembali ke kampus dan mengajak si gadis seni drama berkencan lagi. Kali ini aku mengajaknya kemping ke pantai untuk membakar ikan dengan api unggun, dan menonton pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Kami duduk di pasir dan berbicara tentang banyak hal. Hal-hal yang kuketahui dan hal-hal yang dia ketahui, dan ketika aku menatap matanya yang cokelat bening, aku melihat alam semesta yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya.

Mungkin dia juga melihat hal yang sama di mataku, karena beberapa bulan kemudian, ketika aku memintanya untuk menikah denganku, dia menjawab ya.

Kami telah menikah dua puluh lima tahun dan dia bilang dia bahagia hanya menjadi istri petani. Namun aku dengan bangga menyampaikan padamu bahwa kota kecil kami memiliki satu kelompok teater komunitas yang hebat, berkat gadis seni dramaku. 

Setiap lima tahun dia membuat mereka menampilkan "Menunggu Godot" hanya untukku.

Bandung, 12 September 2021

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun