Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lampu Rumah Tua

10 Juni 2021   21:10 Diperbarui: 10 Juni 2021   21:14 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jadi, ada apa dengan lampu nyala mati itu? Apakah ada seseorang di sana, melawan para monster, membunuh mereka dengan cahaya? Mustahil, pikirnya. Kilatan cahaya kuning yang mengalir di pipinya yang kemerahan, menyilaukan mata dan mewarnai rambut hitam keritingnya dengan warna hijau muntahan. Pencerahan yang tiba-tiba datang lebih terang dari cahaya itu sendiri!

Monster-monster itu memanggilnya, memanggil semua anak untuk datang dan melawan mereka untuk selamanya. Kepastian ini juga dirasakan Mahesa, lebih nyata daripada fakta bahwa dia tidak memiliki suara.

Mahesa menarik napas dalam-dalam dan menelannya. Nyeri rasanya. Dia harus melakukannya, bahkan jika tidak ada anak lain yang berani ikut dengannya. Lebih dari segalanya, lebih dari dia ingin memiliki banyak teman dan menjadi bintang karate, Mahesa ingin membuktikan bahwa menjadi bisu tidak membuatnya tidak kompeten dalam segala hal yang dia lakukan, dan ini bisa menjadi satu-satunya kesempatan yang pernah dia dapatkan. Dia tidak perlu berbicara dengan monster, dia hanya harus melihat mereka dengan matanya dan memukul mereka di titik yang mematikan. Dan bahkan jika dia gagal, dia tahu dia berani.

Mahesa bukanlah anak delapan tahun yang biasa.

Dia turun dari ambang jendela dan menuju ke lemarinya, dan menemukan tongkat kayu dan masker pelindung wajah milik ayahnya: senjata dan baju zirahnya. Dia memakai topeng itu ke wajahnya. Terlalu besar untuknya dan masih berbau tembakau dan keringat, tapi ini adalah bau ayahnya dan dia merasa aman di balik masker tahan api. Tongkat kayu yang dipakai untuk berlatih karate dua kali tinggi tubuhnya, tapi dia memegangnya dengan percaya diri dengan dua tangan dan memutuskan untuk segera pergi sebelum kehilangan nyali.

Mahesa meninggalkan kamarnya dan buru-buru menuju pintu depan dengan telanjang kaki, karena lorong yang gelap dan sempit itu cukup menakutkan dan dia tidak ingin ketakutan. Dia berhenti dan memegang gagang pintu, memastikan dia bisa mendengar ibunya tidur, dan memang dia mendengar dengkur yang berirama. Sebagian dari dirinya hampir berharap bahwa ibunya terbangun dan memergokinya, tetapi dia membuang pikiran itu dengan sedikit keberanian melangkah keluar pintu.

Ketika mencapai puncak bukit yang gundul, Mahesa meaikkan topengnya ke atas kepala, mendongak untuk menatap rumah dalam sudut pandang maksimal. Kayunya melengkung diazab cuaca dan memiliki bekas luka. Cat putihnya luruh dan terkelupas serupa sulur-sulur panjang berjamur. Atapnya berbintik-bintik dengan karat. 

Jalinan tanaman merambat menempel padanya, bergoyang tertiup angin seperti rambut kusut acak-acakan. Tanaman merambat yang membungkus seluruh rumah seperti kanker ganas yang dilihatnya di kanal pengetahuan di televisi. Mencengkeram membentuk selaput tipis, berkelok-kelok seperti jaring laba-laba hitam di jendela yang buram. Lonceng angin berdenting dengan serak di suatu tempat yang tinggi dengan nada yang membuat bulu kuduk merinding. Pita peringatan kuning berdesir dan terputus di beberapa bagian.

Ketika Mahesa melihat pintu terbuka, dia mengira monster-monster itu telah melarikan diri dan berkeliaran di kota, tetapi dia tahu dia harus memeriksanya dengan pasti.

Jantungnya berdegup kencang seakan mencoba keluar dari dadanya, tapi wajahnya tetap tenang dan diam.

Dia maju, selangkah demi selangkah. Topengnya kembali ditarik untuk melindungi wajahnya dan tongkat kayu tegak bersiap untuk memukul di genggamannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun