Telinganya berdenging karena tekanan yang kuat di kepala. Pembuluh darahnya menegang di bawah kulit seperti cabang pohon di musim kemarau dan paru-parunya berkibar kencang di dadanya seperti sayap terluka.
Kegelapan masih menguasai dan mengawasinya, mengharapkannya menderita, menatap dan menunggu seperti dia. Menunggu dia meledak.
Mahesa merasa seolah-olah dia sedang ditekan hingga remuk. Dia jatuh ke lantai dan melepaskan topengnya, memegangi rambut ikalnya yang lembap dengan kedua tangan, berharap dia bisa membelah batok kepalanya dan membiarkan teror meledak dari otaknya. Wajahnya yang sepolos bayi berkerut, menjerit dan menjerit. Kemudian diam.
Ketika Mahesa membuka matanya lagi, Lampu telah menyala. Dia bisa melihat bahwa jantung hitam dan monster yang menyiksa pikirannya hanyalah khayalan kekanak-kanakan. Dia dikelilingi oleh empat dinding yang gelap hitam seakan hangus oleh nyala api.
Tidak ada apa-apa di ruangan itu kecuali bangku kayu. Di atasnya telepon kuno dengan kabel keriting dan piring putar dengan lubang jari bernomor. Begitu Mahesa melihatnya, telepon mulai berdering begitu keras sampai-sampai dinding bergetar, berdering dan menjerit-jerit dan Mahesa tahu, dering itu tidak akan berhenti sampai dia mengangkatnya.
Perlahan-lahan dan hati-hati dia berdiri. Wajahnya panas dan berkeringat, rambutnya kusut masai seperti tanaman perdu liar.
Perlahan dia mendekat. Dering menjadi raungan melengking yang menusuk, membuat matanya berguncang di rongganya.
Ketika tangannya yang gemetar hendak meraih gagang telepon, Mahesa menyadari bahwa pesawat telepon itu tidak terhubung ke mana pun. Panggilan misterius itu datang dari tempat lain. Atau dimensi lain.
Dia meletakkan tangannya di atas gagang telepon yang sedingin es, membiarkan satu raungan lagi yang menyayat otak, dan mengangkat telepon ke telinganya.
Tidak ada apa pun selain desau statis yang menggetarkan gendang telinga, jadi dia menunggu. Napasnya yang berat mengembun menjadi kabut panas di gagang telepon.
Halo? Halo? HALO?