Mohon tunggu...
Agung Wibawanto
Agung Wibawanto Mohon Tunggu... -

Tidak semua orang bisa menjadi penulis hebat, namun seorang penulis hebat bisa berasal dari mana saja... Saya selalu meyakini itu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pentingnya "Code of Conduct"

9 Januari 2017   21:49 Diperbarui: 15 Januari 2017   21:51 18460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang dimaksud dengan code of conduct dan mengapa harus ada code of conduct? Code of conduct sesungguhnya bukanlah sebuah produk hukum, sehingga siapapun diperbolehkan membuatnya. Code of conduct yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kode etik atau pedoman perilaku adalah beberapa aturan yang dibuat, dipahami dan disepakati hingga menjadi komitmen bersama.

Codeof conduct dapat disebut sebagai hukum etika dan berposisi justru di atas hukum positif. Hukum etika tersebut dapat bermacam-macam disesuaikan dengan ruang lingkup dan kondisi yang berlaku, sebagai contoh, ada code of conduct dalam perusahaan, code of conduct rumah sakit, code of conduct lembaga pendidikan,dan sebagainya. Jadi, code of conduct yang dimaksud tidak berlaku umum hanya untuk kalangan tertentu saja (sehingga bukan hukum positif).

Meski “bunyi” peraturan bisa berbeda-beda, namun secara umum berkait soal perilaku. Bagaimana perilaku yang sebaiknya, bagaimana agar tidak terjadi masalah (menghindari masalah), bagaimana jika terjadi masalah (mengatasi masalah), dan sebagainya. Jadi, code of conduct juga bertujuan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum (preventif).

Pada umumnya, sebuah institusi ataupun komunitas membuat sebuah code of conduct disebabkan adanya masalah-masalah yang pernah terjadi di institusi ataupun komunitas tersebut. Satu atau beberapa masalah yang sempat muncul tentu akan menjadi perhatian yang sangat menguras tenaga, waktu pikiran maupun biaya pada saat mengatasinya. Hal ini disebabkan tidak adanya aturan yang dapat dijadikan sebagai pedoman bersama. 

Dalam kerangka tersebut, dibutuhkan semacam perangkat aturan bersama untuk mencegah agar segala masalah serupa tidak muncul kembali. Materi atau kontens dalam code of conduct pada umumnya memang bersifat universal (tidak teknis), sehingga tidak membutuhkan banyak penjelasan, mudah dipahami dan dapat dipajang d ibeberapa tempat untuk lebih mengingatkan pihak-pihak yang terlibat.

Jika memang code of conduct tersebut merupakan produk bersama, maka subjek dan obyek terhadap code of conduct adalah keseluruhan. Artinya, code of conduct harus disepakati bersama dan juga ditujukan kepada seluruh pihak. Tidak boleh terjadi “bias” ataupun diskriminasi. Semua pihak akan mendapat reward jika melaksanakannya (jika memang ada reward), dan akan mendapat sanksi jika melanggarnya.

Dalam dunia pendidikan kerap kali muncul masalah di mana guru yang mencoba mendisiplinkan anak ternyata justru diadukan orangtua anak kepada pihak polisi. Sementara kemendikbud menyediakan nomer khusus untuk pengaduan siswa dan orangtua atau pihak-pihak yang merasa menjadi korban bullying di sekolah. Tidak sedikit guru dan masyarakat yang protes dan dianggap “melecehkan” tugas gurudan sekolah dalam mendidik.

Masyarakat kemudian menganggap siswa “cengeng” dan orangtua yang tidak bisa mendidik dan hanya bisa melapor ke polisi. Dan kemudian menyebabkan si anak tidak diterima di sekolah manapun (hal ini sesungguhnya sudah melanggar hak setiap warga negara untuk mendapat pendidikan di sekolah yang dijamin konstitusi). Namun masyarakat justru gembira, “Itulah akibatnya kalau siswa cengeng, manja dan pengadu!”

Bagi saya sederhana saja, tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik sepanjang kita tahu apa yang kita lakukan. Dan setiap peristiwa merupakan sebuah pembelajaran agar ke depan bisa lebih baik lagi. Mungkin sudah perlu dipikirkan bagaimana ke depan setiap sekolah membuat code of conduct. Sepanjang itu menjadi kesepakatan dan komitmen bersama. 

Soal metode perumusannya bisa bermacam-macam. Ada yang betul-betul dilakukan secara langsung, dengan cara mengumpulkan seluruh wali/orangtua siswa, guru dan siswa sendiri. Sebutkan hal-hal apa saja yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan di sekolah dan bagaimana jalan penyelesaiannya jika ada masalah (dapat disampaikan langsung/lisan ataupun melalui tulisan). Kumpulkan seluruh pendapat lalu sederhanakan hingga menjadi beberapa poin saja (hal paling penting).

Ada juga dengan model tidak langsung. Pihak sekolah sudah terlebih dahulu membuat semacam draft code of conduct dan kemudian setiap siswa dan orangtua berkewajiban mengetahui, membaca, memahami dan kemudian memberi kesepakatan. Apabila ada yang tidak setuju atau perlu dikoreksi disebut feedback. Kesepakatan tersebut kemudian secara lembaran dapat dibagikan dan dimiliki oleh masing-masing siswa dan orangtua, serta juga dapat dibuat dalam bentuk spanduk/banner yang dipasang di dinding sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun