Mohon tunggu...
Agung Wibawanto
Agung Wibawanto Mohon Tunggu...

Tidak semua orang bisa menjadi penulis hebat, namun seorang penulis hebat bisa berasal dari mana saja... Saya selalu meyakini itu.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Ahok Terkena Karma Karena Kesombongannya? (2)

8 Januari 2017   15:09 Diperbarui: 15 Januari 2017   22:10 1356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaannya, mengapa dulu mati-matian mendesak dan “mengancam” PDI Perjuangan? jika PDI Perjuangan tidak mengusung Ahok maka Ahok akan tampil independen? Namun sekarang memilih jalur partai? Resikonya, hubungan yang selama ini baik menjadi renggang. PDI Perjuangan sudah terlanjur merasa “diremehkan” oleh Ahok. PDI Perjuangan menjadi bulan-bulanan caci maki dan hinaan masyarakat karena issue mahar yang dilontarkan Ahok. Apakah kira-kira PDI Perjuangan masih “cinta” dengan Ahok? Kini Ahok resmi bersikap untuk bersedia diusung oleh partai (hal yang dulunya ia tolak karena merasa “tidak enak” dengan Relawan TA). Jawab Ahok, “Partai yang akan mengusung saya tanpa syarat, tidak ada yang minta mahar, enak aja saya keluar duit...”

Soal duit, no lunch for free... Mengingat koalisi 3 partai (Nasdem, Hanura dan Golkar) plus Relawan Ahok memiliki ideologi dan kepentingan atau hidden agenda yang berbeda-beda, tentu menjadi sangat rawan terjadi perpecahan. Golkar sebagai tokoh antagonis yang kenyang asam garam politik pilkada bisa melakukan manuver sewaktu-waktu (jika memang itu diperlukan mencapai kepentingannya). Yang dikhawatirkan jika ada partai yang menarik dukungannya menyebabkan gagalnya Ahok menjadi cagub dalam Pilkada DKI. Mungkinkah? Sangat mungkin! Sebaik dan sebagus apapun calon jika tidak berdampak positif kepada kepentingan partai, maka partai tidak ragu “menceraikannya”. Ini politik, its not about personality its about interested of goal...   

Kita tidak bisa membayangkan apabila terjadi, Ahok yang sangat populer dan disukai rakyat ditinggal sendirian oleh partai (yang sedikitnya dendam atas pernyataan bahwa partai itu penadah mahar) dan tidak dapat mendaftar sebagai cagub dalam Pilkada DKI. Pintu independen sudah tertutup. Aneh? Salah? Tidak juga, inilah politik dan aturan mainnya demikian. Ahok sudah tidak bisa jemawa tidak membutuhkan partai, karena “ban serep” bernama Relawan TA sudah percuma, tidak bisa mendaftarkannya pada jalur independen. Yang bisa dilakukan adalah meraih simpati rakyat kembali melalui komentar-komentarnya yang terkesan lugu agar mendapat empati dan simpati.

“Saya tidak takut seluruh partai akan melawan dan mengeroyok saya,” komentar Ahok ketika ditanya bagaimana jika sisa partai berkoalisi mengusung calonnya sendiri? Bahasa yang digunakan Ahok selalu lugas dan bombastis. Sehingga hanya ada dua golongan orang saja dalam menilai Ahok, yakni sangat suka dan tidak suka sama sekali. Hingga pada saat itu, semua pihak (masyarakat, partai, dan calon penantang Ahok) menanti apa yang menjadi keputusan PDI Perjuangan dalam merespon tingkah polah Ahok dalam memenangi pertarungan Pilkada DKI? PDI Perjuangan dikenal sebagai salah satu partai yang selalu mengutamakan kader partai untuk menjadi calon kepala daerah di setiap daerah (dan kebetulan memang banyak kader yang mumpuni).

PDI Perjuangan juga dikenal berani berjuang sendiri (tanpa koalisi—lihat beberapa pilkada di daerah). Kemenangan bagi PDI Perjuangan bukan soal terpilih menjadi kepala daerah, melainkan kemenangan yang jauh lebih utama adalah kerja ideologis yakni bergeraknya seluruh kader, simpatisan dan relawan di pelosok-pelosok hingga RT/RW. Event ini sekaligus menjadi agenda konsolidasi partai (merujuk pengalaman pemenangan Jokowi di DKI). Jadi bagi PDI Perjuangan, kadernya terpilih dalam pilkada adalah penting, namun jauh lebih penting yakni konsolidasi, melakukan perjuangan bersama-sama, gotong royong dalam satu komando. Itulah kerja ideologis.   

Beberapa nama kader PDI Perjuangan sempat dimunculkan dan digadang-gadang oleh masyarakat maupun pengurus daerah sebagai penantang Ahok. Terutama yang sangat cemas menanti keputusan PDI Perjuangan adalah partai penentang Ahok. Apakah PDI Perjuangan akan mengeluarkan satu nama kader partai yang masuk dalam daftar penjaringan dan menyaringan?  Atau merestui dan menugaskan Risma ke DKI (meski tidak masuk daftar) dan kemudian didukung oleh partai lain yang bertujuan “pokoknya bukan Ahok”? Atau Megawati melalui hak prerogatifnya meduetkan pasangan Ahok-Djarot?

Anak “Nakal” Tapi Disayang

Pada akhirnya melalui hak prerogatifnya Megawati merekomendasikan sekaligus bersedia mengusung Ahok yang berpasangan dengan Jarot Syaiful Hidayat (kader PDI Perjuangan) untuk turut dalam kontestasi Pilkada DKI 2017. Pada posisi itu, sesungguhnya Ahok bisa menolak “pinangan” Megawati, dikarenakan ia sudah bisa maju dengan usungan 3 koalisi (Golkar, Nasdem dan Hanura). Tapi siapa yang mau menolak dukungan apalagi usungan dari partai besar penguasa kursi di DPRD DKI? Tidak ada yang mengetahui apa isi pikiran Ahok hingga menerima pinangan PDI Perjuangan.

Analisanya tidak lain karena konsep “kendaraan” yang dibutuhkan Ahok. Pragmatis, tidak ada yang lain. Atau sesungguhnya Ahok memang sudah tahu atau sudah diberitahu bahwa PDI Perjuangan akan tetap mendukungnya jika melalui jalur partai dan bukan jalur independen. Hanya saja, kapan deal itu diketahui ataupun dibuat? Faktanya sejak Ahok datang ke markas PDI Perjuangan untuk mendesak agar segera memutuskan dukungannya, dan kemudian tidak mendapatkan yang diinginkannya, Ahok seperti (justru) memojokkan PDI Perjuangan. Mungkinkah ini hanya semacam “jebakan betmen” agar partai pesaing tidak memiliki persiapan karena menunggu “konflik” Ahok dengan PDI Perjuangan? Entahlah, ini politik.

Anak “nakal” yang disayang itu kembali ke pangkuan partai. Meski keputusan itu banyak konsekuensinya. Beberapa kader dan pengurus daerah PDI Perjuangan yang sudah merasa tersakiti hatinya oleh ulah dan ucapan Ahok menyatakan terang-terangan mundur dari partai, termasuk Boy Sadikin (mantan Ketua DPD DKI PDI Perjuangan). Hitungan logis PDI Perjuangan selain fakta kinerja Ahok sepanjang menjabat Gubernur DKI, juga karena visi misi Ahok dianggap masih meneruskan era Jokowi. Selanjutnya wakil Ahok merupakan kader partai, yakni Jarot (mantan Walikota Blitar 2 periode). PDI Perjuangan masih meyakini tingkat kepopuleran dan elektabilitas Ahok, ditambah kerja kader yang digerakkan mesin partai (PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem dan Hanura).

Kini Ahok terancam tidak dapat melanjutkan kiprahnya untuk memimpin Jakarta kembali. Ia harus duduk di kursi pesakitan dalam persidangan dugaan penodaan agama. Banyak pakar yang menduga Ahok akan sulit terlepas dari dakwaan serta vonis yang akan menghukumnya. Dengan begitu karir politik Ahok utamanya impian memimpin DKI Jakarta dapat dikatakan “pupus”. Jikapun paslon Ahok-Jarot menang dalam pilkada, maka Jarot lah yang akan memegang tampuk kekuasaan DKI, bukan Ahok. Mungkinkah Ahok terkena karmanya sendiri akibat kesombongannya? Masyarakat masih berharap dan berdoa agar pilkada DKI 2017 akan berjalan secara fair, adil dan jujur. Mempertontonkan sebuah pesta demokrasi yang sesungguhnya. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun