"Ketika tidurmu, apakah menghasilkan sesuatu?"
"Ketika bangunmu, apakah terbayang akan sesuatu?"
"Ketika lelahmu memburu, apakah akan duduk begitu saja? sudah merasa bosan untuk mengupayakan apa saja, yang sebenarnya kamu justru akan sangat mampu melakukannya?"
Entah suara siapa, namun Shinta begitu jelas mendengarnya. Entah berasal dari sebelah mana, namun membuat Shinta sedikit membuka mata, lalu mencoba menatap ke arah sekitarnya.
"Jika Rama itu baik, untuk apa peduli akan dia yang adalah Rahwana?"
"Bila Rahwana itu tidaklah baik, lalu atas dasar apa dirinya yang ternyata memiliki rasa cinta yang bertumbuh di hatinya?
"Kurang elok jika hanya berprasangka, lebih indah bila sanggup menemukan kebenarannya, menemui kejelasannya."
Suara itu terdengar lagi, namun masih saja tanpa wajah. Tidak ada siapa-siapa, hanya suara yang kian nyaring saja, terdengar oleh Shinta yang semakin membuka mata.
"Kasat mata dan mata hati, selain untuk sekali waktu butuh juga memperhatikan arah mata kaki."
Kini Shinta memilih duduk, bahkan bisa dibilang terduduk, tertunduk. Menyadari akan sesuatu, memaknai sesuatu, lalu memikirkan akannya sesuatu itu.
Salam Fiksiana
Bandung, 16 Juni 2021