Mohon tunggu...
Awalus Shoim
Awalus Shoim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Merasakan, melihat dan berfikir.. Egosentris adalah nafsu dan ambisi, "Sosialita mungkin sebuah kebutuhan"!!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kembali Pada Spirit Langgar, Sarana Ruang Tatap

16 Juli 2019   05:50 Diperbarui: 16 Juli 2019   07:48 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
langgar di Joglo Nusantara Pengasinan Depok bermodel Julak Ngapak

Adalah  hal yang begitu indah dan menggugah  gejolak rasa saat kita bisa berteduh dan bercengkrama  dengan begitu apa adanya dan tanpa sekat formalitas dan kecanggungan, adalah   kedamaian yang begitu kita rindukan  saat kita bisa bercanda tawa dan berbicara tanpa ada beban batas status sosial dan predikat diri yang butuh protokoler dan kehati hatian ucap. 

Hal yang kita harapkan saat kita bisa menuangkan segala kecamuk dan kehendak ekspresi tanpa ada ketakutan salah dan keliru, adalah sesuatu yang menjadi homys saat kita bisa tidur ngorok dan ternyata terbangun dari mimpi basah di ruang kebebasan dan tanpa takut kena marah ayah bunda karena jam sekolah telah terlewati. 

Dan disitulah tempat yang menjadi kawah candradimuka dan penggemblengan awal tiap tiap kita sebagai anak bangsa dibesarkan dengan segala dinamika rasa dan karsanya, "Langgar".

Seorang Heri Syaefudin atau biasa di sapa Heri Blangkon, penggagas Joglo Nusantara di daerah Pengasinan Sawangan Depok, dalam perjalanannya tokoh yang sejak muda menggeluti landscaping dan tanaman hias ini merasakan kegelisahan dan makin tergelitik saat himpitan gadget makin menafikkan ruang tatap sesama anak manusia ini.

Masing masing entitas yang terdahulu pernah rasakan eksistensinya, dalam langgar ada komponen kentongan, bedug, gapyak atau terompah,  padasan (jawa:tempat wudhu), papan kayu sebagai lantai, di sudutnya terpampang triplek papan hitam kusam dengan kapur warna putih buluknya, dan sudut tengah tergantung petromak penerang, plus ublik (lentera-lampu semprong) di dua sisi kiri kanan.

Di sini atmosfir, kultur dan karakter khas, terpampang gapura bergambar bersimbul di pintu masuk batas desa sebrang langgar menguatkan sinergi yang simultan dalam sebuah identitas wilayah. Keterwakilan unsur ornamen dan karakter kedaerahan, khasnya lantunan adzan dan ragam kegiatan yang dipusatkan di langgar.

Adanya mbah Modin sebagai penggerak dalam sendi kehidupan setempat atau Ustadz dan Kyai kampung, berperan sebagai guru mengaji dan seorang imam, juga menjadi penjaga simpul sosial kemasyarakatan setempat.

Langgar saat mentari tenggelam hingga malam mulai menjadi giat kaum laki-laki khususnya generasi mudanya, di sanalah tempat berekspresi dan berinteraksi. Sementara para orang-orang dewasa berdiskusi berbagai hal terkait dengan berbagai persoalan warga desa, sedangkan anak-anak kecil dan remaja bermain. Berbagai permain tradisional, benteng, tebak kata menjadi permainan favorit. Sebagian besar remaja dan anak-anak lelaki tidur di langgar, meskipun banyak aktivitas lain yang mereka lakukan sebelum tidur seperti berbuat menjahili teman, atau bahkan kegiatan iseng keluar langgar untuk mencuri buah tetangga atau pergi mengambil ayam peliharaan rumah sendiri untuk di buat hidangan pekarangan langgar beramai-ramai.

Hal semacam ini menjadi permisif dan sebagai hal yang lumrah di lain sisi langgar dianggap sangat penting sebagai tempat inisiasi bagi anak-anak lelaki mereka, tempat mengantar mereka dari dunia anak-anak menuju remaja untuk siap pada jenjang pendidikan berikut atau merantau bekal pendewasaan. Dengan alasan ini, orang tua menjadi bahagia dan tenang ketika anak-anak mereka berada di langgar.

Eksistensi Ruang Tatap

Menghadirkan kembali langgar sebagai ruang tatap menumbuhkan kembali guyuban, ruang transformasi nilai dan konfirmasi interaksi dari eksistensial kita sebagai manusia dalam peadaban dan karakter sebuah kelompok dalam wilayah, suasana ngaji bersama, kenduren, rembug desa, ibu ibu setempat beradu isu isu lokal dan membagi kabar, bagaimana anak anak menjadikan wahana eksplorasi jatidiri, fase kinanti (proses anak dalam pendampingan menuju remaja), para orang tua ngajarin gamelan dan kidung kidung serta langgam balada, hadir membersamai bocah, ada estafeta pembinaan generasi, dupliksi orang tua kolektif( pendampingan).

Spirit nilai keseimbangan Langgar 

Jangan jangan ini hanya  romantisme, hehe ?   Dalam diskusi kami di sudut perampungan prototype langgar yang mungkin terlihat grande, yaah sebagai sebuah role model, intinya pesan dan spirit Langgar itu harapan kami, dan kami saling tertawa bahwa ini hanya kemungkinan, bekmenowo (jawa: mungkin) di terima, mari kita mencoba menggaungkan dan kini bertahap kita realisasikan.

Konfirmasi kekinian apa yang terjadi hari ini, kita hadir buat dunia baru yang terlihat gigantis atau mungkin mengecil dan konekting global. Sementara kita kehilangan akal adanya kevertikalan dan kehorisontalan. 

Dalam bangunannya, spirit langgar menjadi  simbol sebagai titik penanda, kembali kepada keberadaan, refleksi pergantian dan dinamisasi perputaran revolusi, dimana letak eksistensi peradaban kita, identitas dan unsur keseimbangan dan kebutuhan dalam memanusiakan diri.

Kita berdiri dalam konteks peradaban, spirit of langgar ini antara kesadaran horisontal dan vertikal bertemu, ada presisi ruang dan nilai hidup, nilai nilai agama dan budaya ibarat ruh  menemukan raganya, dalam konteks peradaban manusia menemukan bajunya, inilah respon pada lingkunagn hdup dan negara kita, tidak sekadar narasi atau kegelisahan dan protes namun ada konkrit kehadiran ruang itu hal penting. Prototype, mahluk sosial butuh simbol, butuh bertatap.

Ketika kemudian langgar-langgar ini tersterilisasi dan  berubah fungsi atau menjadi masjid, dan masjid jami bahkan, sering kehilangan fungsi horisontalnya, Menjadi diskusi seputar ibadah mahdoh dan yang tertinggal orang tua. 

Muncul  jadi benturan-benturan antara Islam dan budaya. Sementara sisi lain ada benturan antaraI Islam kultural dan Islam mainstream. Butuh jawaban dan itu adanya di langgar sebagai inatrumen ruang pada masa lalu yang kmudian ini hilang, di sini kita coba bangun ulang.

Kesadaran ruang, cara memandang ruang yang flat, penilaian ruang adalah ekonomi financial, buang buang duit buat begini, sementara orang itu punya karakter dan identitas kemanusiaannya, mungkin romantisme, mungkin pula fitrah alami dalam bertatap muka tanpa penyekatan diri pada harapan ruang yang independen namun bersandaran pada religiusitas.  

Kepentingan bertatap dengan media lain, sanggar,  teras, ada orang main karambol ada gaple, waktu sholat ngaji mereka diingatkan dan saat kelaparan akhirnya mengambil buah dan makanan pada tetangga dan mereka melumrahkan itu. Di sini unsur kenakalan yang terstruktur dan terkontrol, kebebasan  ruang-ruang hilang terlalu sakral dan komersialisasi ruang, satu jalan surga satu jalan lain. Ruang budaya sosial menjadi dasar dalam dinamisasi masyarakat, kebudayaan kini berubah  menjadi ekonomi kreatif perlunya menarik keseimbangan pada hal yang tak memaksa menjadikan filantropi kolaboratif, ruang-ruang seperti ini hanya dikuasai oleh orang-orang mapan.

sementara seniman, budayawan kampung, kaum usahawan, pedagang dan profesi apapun terasing pada independensi berteduh dan berekspresi dalam sinergi pola hubungan dalam bingkai religiusitas.

Langgar sesederhana mungkin sebgai konsep, bentuk dan menajemen seperti apa, otoritas pak rw atau kadus, otoritas mak mak, otoritas mbah modin dan otoritas mereka yang ingin berteduh dalam peraduan langgar. kompleksitas permasalahan ruang publik harus tetap hidup dan tetep ada aturan, banyak pelaku dan pemerhati  akan hal ini.

Semua ini sekali lagi mbokmenowo (jawa: mungkin) dan barangkali, mungkin kalau di coba.  Setidaknya ada konfirmasi lisan dari hasil diskusi.

Dalam konteks kekinian fungsi langgar hadir sebagai rumah baca/perpustakaan dan sanggar seni untuk mengaktifkan kembali gerak fisik membangun kecerdasan fisik dan motorik masyarakat setempat.

Akan terjadi kesangsian kesangsian yaah memang itu karena kita berusaha mandiri dengan identitas dan karakter, mungkin dari kesadaran gerakan waqaf RTH (ruang terbuka hijau) atau dari kesadaran memfungsikan kembali tempat bernaung kita "langgar" ruang tatap tanpa sekat.

Wallahu alam bishowab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun