Film tersebut kebanyakan ditonton oleh para wanita terutama para wanita korban body shaming yang sudah kehilangan kepercayaan dirinya. Upss film tersebut  tidak hanya dikonsumsi oleh para kaum hawa saja lho!
Sekarang mari bahas yuk semiotika yang terdapat pada sebuah film "Imperfect"!
Kali ini penulis akan membahas teori semiotika yang dikemukakan oleh salah satu tokoh yakni Roland barthes. Teori Roland Barthes memaparkan dua tingkat dari pertandaan yakni denotasi dan konotasi. Denotasi adalah hubungan antara tanda dengan realitas dalam pertandaan itu sendiri, sedangkan konotasi yakni aspek dari suatu makna yang berhubungan dengan rasa dan emosi serta berbagai nilai kebudayaan dan juga ideologi (Piliang, 2003, h. 16- 18).
Menurut Barthes, semiologi yakni mempelajari bagaimana manusia memaknai sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya. Jadi, sebenarnya objek merupakan sebuah tanda yang membawa pesan tersirat. Jika dalam pandangan Saussure menekankan penandaan hanya dalam tataran denotasi dan konotasi. Namun dalam pemikiran Barthes, penandaan milik Saussure tersebut tambah disempurnakan lagi dengan konsep penandaan konotatif dan mitos (Vera, 2014, h.27). Mitos menurut pandangan Barthes bukan merupakan mitos yang berkembang di masyarakat yang misalnya mempunyai arti seperti tahayul atau hal aneh yang tak masuk akal. Namun mitos menurut Barthes itu sendiri merupakan sebuah bahasa, dalam artian mitos adalah sebuah pesan (Vera, 2014).
Dalam film Indonesia "Imperfect" (2019) penulis menemukan beberapa scene yang sesuai dengan model atau konsep semiotik menurut Barthes.
Scene 1
Dialog : Isi kepala aja gak cukup, penampilan juga penting karena kita juga harus ketemu brand-brand ternama (Mas Kelvin)