Mohon tunggu...
Aulia Vidya Almadana
Aulia Vidya Almadana Mohon Tunggu... Buruh - Buruh

Menjaga asa menjadi kaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kebijakan Makroprudensial, Senjata Ampuh Mitigasi Risiko Krisis?

14 Juni 2019   19:47 Diperbarui: 14 Juni 2019   20:00 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: businessinsider.com.au

Kuartal III sampai akhir tahun 2008 merupakan periode yang sulit bagi beberapa negara terutama negara berkembang, termasuk Indonesia. Para investor mencabut modal yang sedianya sudah ditanamkan pada surat-surat berharga dan saham di negara berkembang untuk menjaga likuiditasnya sebagai dampak dari penurunan kepercayaan pada pasar keuangan global yang diawali dengan permasalahan sub-prime loans di Amerika Serikat. Dampaknya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia mengalami kekeringan likuiditas yang berakibat pada terganggunya sektor perekonomian.

Permasalahan sub-prime loans atau yang biasa disebut sebagai sub-prime mortgage di Amerika Serikat lebih kepada pelonggaran kredit pembelian rumah yang diberikan oleh perbankan kepada nasabah yang mempunyai kemampuan bayar meragukan (sub-prime). Harga rumah yang terus membumbung tinggi berbanding lurus dengan nilai agunan yang tinggi pula membuat bank-bank memiliki keyakinan tinggi untuk dengan mudahnya menggelontorkan pinjaman kepada nasabah.

Sayangnya "bubble" pecah, harga rumah anjlok, pinjaman kepada nasabah menjadi kredit macet, sehingga banyak bank mengalami kebangkrutan. Ujungnya bank investasi sekaliber Lehman Brothers, yang tetap tegap diterpa the great depression tahun 1930an kolaps.

Pasca kejatuhan Lehman Brothers, pasar keuangan di Indonesia guncang. Indeks Harga Saham Gabungan runtuh, dari yang bernilai 2.500 di pertengahan tahun menjadi 1.200 pada November 2008. Kesulitan juga dialami oleh perbankan dan korporasi dalam negeri untuk mencari pinjaman khususnya dalam dolar, apabila ada tawaran pinjaman harus dibayar dengan biaya tinggi.

Serangkaian peristiwa tersebut berpeluang membuat gamang kinerja pasar dan lembaga keuangan, lebih jauh lagi berisiko terjadi instabilitas keuangan, sehingga Bank Indonesia memerlukan kebijakan sebagai instrumen untuk memitigasi risiko yang bisa berdampak sistemik pada sistem keuangan dan kegagalan finansial yang lebih dalam.

Penilaian risiko: unsur penting kebijakan makroprudensial

Situasi ekonomi secara global di tahun 2008 tidak menentu. Indonesia dihadapkan pada masalah deleveraging global, yaitu investor menjual secara masif saham dan surat-surat berharga rupiah yang dipegangnya untuk dibelikan dolar dan devisa lain guna dikembalikan ke negara asal, akibatnya Indonesia mengalami kekeringan likuiditas. Permasalahan tersebut berasal dari risiko eksternal (dampak dari peristiwa sub-prime mortgage di Amerika Serikat) yang ternyata berpengaruh pada sistem keuangan domestik terutama pada risiko likuiditas.

Keruntuhan indeks yang telah dibicarakan di atas juga sebagai gambaran atas tergerusnya kepercayaan pada pasar domestik. Pada saat yang sama, imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) meningkat menjadi di atas 17%. Kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dari deleveraging global, dimana para pemegang surat berharga ingin secepatnya mendapatkan likuiditas (dalam rupiah) untuk selanjutnya dibelikan dolar dan dibawa pergi. Sebagaimana yang dapat kita lihat, risiko likuiditas ternyata berpengaruh dan sangat berkaitan dengan risiko pasar.

Permasalahan lain yang terjadi adalah peningkatan risiko kredit, dimana perbankan dan korporasi domestik mengalami kesulitan untuk memperpanjang atau mendapatkan pinjaman baru, khususnya dalam dolar dan apabila ada tawaran pinjaman harus dibayar dengan biaya tinggi.

Hal itu disebabkan oleh dua hal: pertama, bunga yang diminta kreditur sangat tinggi (sejalan dengan kenaikan suku bunga global diatas 8%); kedua, lonjakan premi credit default swap (CDS), yaitu premi yang harus dibayar debitur sebagai jaminan gagal bayar (sejalan dengan kenaikan risiko gagal bayar pada saat itu).

Hal itu menyebabkan perbankan dan korporasi dalam negeri mengalami kesulitan untuk beroperasi. Kesulitaan perbankan dan korporasi dalam negeri untuk memperoleh pinjaman pada ujungnya bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi domestik.

Stabilitas sistem keuangan bukan sebagai tujuan akhir
Sebagai respon atas peristiwa perlambatan perekonomian dunia di tahun 2008, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2008. Perppu tersebut dimaksudkan untuk memperluas fungsi Bank Indonesia sebagai lender of the last resort, yaitu pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek yang disebabkan oleh terjadinya mismatch dalam pengelolaan dana.

Pemerintah juga menerbitkan Perppu No. 3 Tahun 2008 tentang perubahan undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan yang mengatur kriteria perubahan nilai simpanan nasabah yang dijamin pada satu bank menjadi Rp. 100 juta. Kedua perppu tersebut diharapkan bisa menjaga kondisi psikologis masyarakat untuk tetap menempatkan dananya di bank dalam negeri, mengingat pada saat itu otoritas moneter di luar negeri, terutama Malaysia dan Singapura menerapkan kebijakan blanket guarantee yang menjamin 100% dana nasabah di bank.

Hal tersebut menggambarkan, dalam menghadapi krisis Bank Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah menggunakan kewenangannya dalam menjaga stabilitas sistem keuangan untuk memastikan keberlanjutan kontribusi sektor keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut sesuai dengan definisi makroprudensial menurut European Systemic Risk Board (ESRB) sebagai badan pengawas sistem keuangan eropa.

Landasan hukum untuk menghadapi risiko krisis tersebut diikuti dengan beberapa langkah operasi moneter, antara lain menyuntikan uang tunai sebesar Rp. 15 triliun kepada 3 bank BUMN yang mengalami kesulitan likuiditas, mempercepat pencairan belanja APBN, membatalkan lelang Surat Utang Negara (SUN) guna melonggarkan likuiditas dan menginstruksikan institusi BUMN untuk melakukan pembelian kembali sahamnya (buy-back) di bursa.

Langkah pelonggaran likuiditas lain yang diambil oleh Bank Indonesia adalah menurunkan tingkat Giro Wajib Minimum (GWM), yaitu uang/aset likuid yang harus disimpan oleh bank pada bank sentral sebagai jaminan kelancaran pembayaran kewajiban, dari 9% menjadi 7% dalam Rupiah dan dari 3% menjadi 1% untuk kewajiban valasnya.

Beberapa langkah operasi moneter tersebut merupakan usaha Bank Indonesia untuk melonggarkan likuiditas dalam negeri sehingga diharapkan stabilitas keuangan secara keseluruhan dapat terjaga, sesuai dengan fungsi dari pendekatan makroprudensial dengan melihat potensi peningkatan risiko dari sistem keuangan dalam menghadapi risiko krisis.

Langkah Bank Indonesia di dalam kebijakan moneter akan mempunyai dampak langsung pada kondisi makroekonomi dan secara langsung mempengaruhi stabilitas sistem keuangan. Dalam kasus di atas, perlambatan ekonomi domestik yang terjadi karena guncangan perekonomian global tahun 2008 berdampak pada kinerja penyaluran dan kualitas kredit perbankan karena kebijakan pelonggaran likuiditas.

Sinergitas kebijakan dan lembaga
Kebijakan moneter dengan makroprudensial merupakan kebijakan yang memiliki perbedaan fokus. Kebijakan moneter fokus pada stabilitas harga, sedangkan kebijakan makroprudensial fokus pada stabilitas keuangan. Meskipun memiliki perbedaan fokus, namun kebijakan moneter dan makroprudensial saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, kedua kebijakan tersebut harus diperhatikan dan dijalankan secara optimal serta disinergikan untuk memberikan dampak kebijakan yang sesuai dengan kondisi perekonomian terkini.

Bank Indonesia sebagai implikasi dari fungsi makroprudensial menjadi komponen utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan negara dengan merespon dan melakukan penilaian terhadap potensi risiko yang timbul dari sektor keuangan serta dapat berdampak sistemik kepada sistem keuangan domestik. Peraturan Pemerintah yang diterbitkan merupakan hasil dari koordinasi antar lembaga untuk mengimplementasikan kebijakan makroprudensial guna mencapai stabilitas sistem keuangan. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan sinergi antara Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Keuangan dalam mengimplementasikan kebijakan makroprudensial guna meminimalisir risiko yang bisa berdampak sistemik pada stabilitas keuangan yang akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Daftar Pustaka

Boediono, "Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah", Bandung: Mizan Pustaka, 2016.

Bank Indonesia Website, 2019, Fungsi Bank Indonesia, [Online], (https://www.bi.go.id/id/tentang-bi/fungsi-bi/tujuan/Contents/Pilar1.aspx,diakses tanggal 14 Mei 2019).

Departemen Kebijakan Makroprudensial, Mengupas Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia, 2016.

Pemerintah Indonesia, 2008, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Sekretariat Negara, Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun