Di bumi Gaza, cengkeraman derita melilit,
Aya Deeb, seorang ibu penuh kepedihan.
Lahirkan Yara di pangkuan serangan bom berhenti,
Suaminya hilang, perang Israel raih kepedihan.
Dalam gelap, bayang-bayang bom tari berseri,
Sembilan bulan menggendong harapan yang hampir sirna.
Tanpa rumah sakit, tanpa obat di tangannya,
Akses terputus, derita merajai, ketidakpastian menggoda.
Gaza, tanah yang dikepung keluarga,
Blokade Israel, merampas hak dan kesejahteraan.
Ribuan wanita hamil, terpinggirkan dan terpukul, tersiksaÂ
Kematian ibu dan bayi, angka tak terhingga, nestapa tak terhentikan.
Duka dan ratap di ruang bersalin,
Infeksi, perdarahan, eklampsia tanda kepunahan.
Tempat bersalin di rumah, tanpa steril yang memancar,
Kematian ibu dan bayi, tak terhentikan, tak terhitung, menusuk dalam.
Bulan Sabit Palestina, bersaksi dalam bisu derita,
MECA, UNFPA, UNICEF, menarik malam kelam.
Dengan tekad teguh, wanita Gaza dan Afghanistan,
Mensyairkan harapan di tengah reruntuhan, melawan kezaliman.
Puisi ini lahir dari keluh kesah yang hancur,
Dari perjuangan ibu yang tak kenal lelah berzikir.
Derita di Gaza, tertoreh dalam sajak,
Namun, tekad dan harapan terus berkobar, membentuk mentari baru yang berwarna merah.
Biarkan puisi ini menjadi sorotan, penyambung raungan
Untuk mereka yang luka, yang terhempas oleh derita.
Agar dunia menyaksikan dan merasakan,
Penderitaan ibu hamil dan melahirkan, yang tetap tabah dan kokoh.