Mohon tunggu...
Audrey Kartika
Audrey Kartika Mohon Tunggu... Aktor - PNS

Saya senang berdiskusi mengenai kebijakan pemerintah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Opini ASN Mahkamah Agung terhadap Kenaikan BBM, SMART ASN

19 September 2022   22:58 Diperbarui: 19 September 2022   23:05 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Perkembangan harga Bahan Bakar Minyak harus terus dimonitor, sebab suasana geopolitik dan proyeksi ekonomi dunia masih sangat dinamis salah satunya diakibatkan oleh perang dunia antara Rusia dan Ukraina. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak tidak luput dari perhatian dan pengawasan Ibu Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan Republik Indonesia menyatakan bahwa pemerintah akan memantau dampak inflasi pertumbuhan ekonomi dan indikator kemiskinan.

 

Beberapa alasan yang dinilai perlu untuk menaikkan harga BBM diantaranya :

  • Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk melakukan subsidi terhadapt Bahan Bakar Minyak terhitung kurang sehingga Pemerintah tidak dapat membantu melakukan subsidi untuk Bahan Bakar Minyak.
  • Utang Pertamina terhadap US Dollar yang besar juga turut menjadi alasan mengapa harga BBM perlu dinaikkan. Pertamina harus diselamatkan, harga BBM saat ini sudah di bawah harga keekonomian sehingga kalau tidak dinaikkan, maka Pertamina yang melakukan subsidi BBM. Namun Pertamina tidak dapat melakukan hal tersebut karena utang Pertamina yang kian membesar.

Di sisi lain harga BBM seperti Premium dianggap sudah di bawah harga keekonomian. Sehingga, bila harganya tak dinaikkan maka akan berpengaruh pada kondisi keuangan Pertamina. Dengan harga minyak mentah saat ini yang menembus US$ 80 per barel, harga keekonomian Premium harusnya ada di kisaran Rp.8.500 per liter. Sementara di pasaran saat ini harga Premium dipatok Rp 6.450 per liter. Dengan begitu, maka setidaknya ada selisih Rp 2.000-2.050 per liter yang menjadi beban Pertamina.

Mengacu laporan keuangan Pertamina 2020, jumlah liabilitas atau utang perseroan tercatat total US$ 25,16 miliar atau turun tipis dari posisi 2019 yang sebesar US$ 26,04 miliar. Rincinya, liabilitas jangka pendek perseroan per akhir tahun lalu sebesar US$ 8,1 miliar atau turun 5,26% dari US$ 8,55 miliar, dan liabilitas jangka panjang US$ 17,05 miliar atau naik tipis dari US$ 17,49 miliar[4]. Pertamina memiliki utang yang harus dibayarkan, Keadaan utang Pertamina ini yang menjadi salah satu faktor bahwa pertamina tidak dapat memberi subsidi untuk Bahan Bakar Minyak maka harga Bahan Bakar Minyak semakin meningkat.

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan berimplikasi pada kenaikan harga bahan pangan dan barang penting. Dengan kenaikan BBM serentak ini, angka inflasi di Tanah Air akan meningkat dan menyebabkan penurunan daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa. Ekonom senior Mirae Asset Sekuritas, mengungkapkan keputusan pemerintah untuk meningkatkan Pertalite bersubsidi dan solar bersubsidi akan berdampak besar pada inflasi dan ekspektasi inflasi. Kenaikan harga BBM akan membawa tekanan ke atas pada administered price serta dampak putaran kedua pada inflasi inti. Setelah penyesuaian harga BBM bersubsidi, kami melihat inflasi dapat mencapai 7,13%.

Kebijakan kenaikan suku bunga yang lebih agresif oleh Bank Indonesia untuk mengelola inflasi dan ekspektasi inflasi. Kenaikan BI 7-Day Reverse Repo 25 bps (basis poin) pada rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia berikutnya bulan ini akan tepat, setelah kenaikan 25 bps Agustus untuk mengantisipasi peningkatan lebih lanjut pada inflasi inti dan ekspektasi inflasi. Dengan demikian, perkiraan Bank Indonesia akan menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 50 bps lagi, setelah kenaikan pertama menjadi 4,50%.

Tingginya harga bahan pangan dan barang pokok dibarengi dengan kenaikan suku bunga menjadi acuan yang akan mendorong bank menyesuaikan bunga kredit akan menghantam langsung kepada masyarakat. Lantas apakah kenaikan tersebut akan dibarengi dengan kenaikan gaji, baik di level pegawai negeri sipil (PNS) maupun karyawan swasta?

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengemukakan bahwa pemerintah akan kembali melihat lebih dalam rancangan kas keuangan negara, yang akan dibahas secara bertahap bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebelumnya, eks Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo pernah menuturkan rencana kenaikan gaji PNS minimal Rp 9 juta untuk golongan terendah pada tahun depan. Hal tersebut menjadi kepastian karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) sama sekali tidak menyinggung kenaikan gaji PNS dalam pidato kenegaraan dan nota keuangan pertengahan pada 16 Agustus 2022.

Bagi pegawai swasta, terutama BUMN, Menteri BUMN Erick Thohir telah mengungkapkan bahwa dirinya melihat ada penyesuaian terkait gaji di perusahaan menyusul kenaikan harga Pertalite, Solar, dan Pertamax. Hal ini diperkuat dengan ekonomi Indonesia yang masih tumbuh setidaknya 5 persen per tahun. Erick Thohir menyatakan bahwa pasti ada penyesuaian, karena inflasi diperhitungkan terkait dengan kenaikan BBM dan semua harga pangan.

Bagi pegawai swasta non-BUMN, kenaikan gaji atau upah akan mengacu pada formula yang ada dalam Peraturan Presiden (Perpres) 36/2021 tentang Pengupahan. Artinya adalah rumusan UMP tahun depan sama seperti tahun ini. Tahun 2022 adalah tahun kedua menerapkan penetapan upah berdasarkan PP 36/2021. Dikutip dari Pasal 26 ayat 2 PP 36/2021, penyesuaian upah minimum ditetapkan pada rentang nilai tertentu di antara batas atas dan bawah dari upah minimum pada wilayah (UMR) yang bersangkutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun