Mohon tunggu...
Maheswari Audreyka TW
Maheswari Audreyka TW Mohon Tunggu... Mahasiswa

Membaca buku, bermain alat musik, mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tong Tong Fair: Identitas Indo di Belanda dan Dampaknya Pada Budaya Lintas Negara Periode 2020-2024

3 Juni 2025   18:28 Diperbarui: 3 Juni 2025   18:36 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Maheswari Audreyka Tantra Wijaya

Latar Belakang

     Tong Tong Fair yang sebelumnya dikenal sebagai Pasar Malam Besar didirikan pada 1959 di Den Haag oleh Tjalie Robinson sebagai respons atas kerinduan akan budaya Hindia Belanda (Thanh-Dam; Gasper, 2011). Awalnya, acara ini berfungsi sebagai ruang reuni komunitas Indo untuk berbagi kuliner, musik, dan cerita nostalgia. Namun, seiring dekade, festival ini berevolusi menjadi fenomena budaya yang lebih luas, menarik tidak hanya generasi Indo-Belanda tetapi juga masyarakat Belanda dan pengunjung internasional. Perubahan nama menjadi Tong Tong Fair pada 2009 menandakan transformasinya dari sekadar "pasar malam" menjadi festival yang merayakan hibriditas budaya dan dialog lintas generasi. (Pattynama, 2012)

        Perayaan tersebut lahir dari sejarah migrasi sekitar 300.000 Indo-Eropa serta kelompok repatriat lain dari bekas Hindia-Belanda ke Belanda antara 1945-1965—sebuah diaspora yang kini diperkirakan berjumlah 800.000 – 2 juta jiwa di Belanda dan menjadi komunitas minoritas terbesar di negara itu. Berhadapan dengan proses integrasi yang relatif berhasil, banyak Indo generasi kedua dan ketiga justru kembali mencari “akar” budaya mereka. Tong Tong Fair menyediakan ruang aman untuk menegaskan identitas hibrid tersebut melalui kuliner, musik krontjong-indorock, mode kebaya, hingga diskusi sejarah kolonial. (Janoski, 2010) 

       Identitas Indo-Belanda bersifat cair dan multidimensi. Di satu sisi, generasi pertama berusaha melestarikan tradisi seperti masakan rijsttafel, bahasa petjoek, atau lagu-lagu kroncong. Di sisi lain, generasi muda Indo-Belanda—yang lahir dan besar di Eropa—sering kali memaknai identitas mereka secara lebih fleksibel, memadukan unsur Belanda modern dengan warisan Asia. Tong Tong Fair menjadi cerminan dalam dinamika ini: di sana, spekkoek (kue lapis) dijual bersamaan dengan workshop seni kontemporer, sementara diskusi tentang sejarah kolonial diadakan di antara pertunjukan musik dangdut. Proses hibriditas ini memunculkan pertanyaan tentang cultural appropriation, apresiasi budaya, dan legitimasi identitas di tengah masyarakat multikultural Belanda. (Captain & Meijer, 2000)    

          Tong Tong Fair tidak hanya memengaruhi komunitas Indo-Belanda, tetapi juga berperan sebagai jembatan budaya antara Indonesia dan Belanda. Misalnya, melalui promosi produk UMKM Indonesia, kolaborasi seniman, atau program pertukaran budaya. Festival ini juga menjadi sarana soft diplomacy yang mengubah narasi hubungan Belanda-Indonesia dari sejarah kolonial yang kelam menjadi dialog mutualistik. Namun, di baliknya, tetap ada ketegangan antara romantisasi masa lalu—seperti nostalgia pada zaman Hindia Belanda dan upaya dekolonisasi dalam wacana akademis kontemporer. (Van Leeuwen, L., 2018)

Rumusan Masalah 

     Dari latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

  • Bagaimana Tong Tong Fair merepresentasikan identitas budaya Indo di Belanda?

  • Pertanyaan Penelitian:

  1. Bagaimana festival ini memainkan peran dalam membentuk dan memelihara kesadaran identitas hibrid antar­generasi komunitas Indo?

  2. Apa peran Tong Tong Fair sebagai mediator budaya antara Indonesia dan Belanda, baik dalam diplomasi informal maupun pertukaran ekonomi kreatif?

  3. Apa tantangan utama yang dihadapi Tong Tong Fair dalam menjaga keberlanjutan sebagai platform budaya diaspora di era globalisasi dan pasca-pandemi?

Tujuan 

       Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah: 

1. Menganalisis bagaimana Tong Tong Fair merepresentasikan dan membentuk identitas budaya komunitas Indo di Belanda selama periode 2020–2024, termasuk bagaimana elemen budaya Indonesia ditampilkan, dipertahankan, atau ditransformasikan dalam konteks diaspora. 

2. Mengkaji kontribusi Tong Tong Fair terhadap pertukaran budaya lintas negara antara Indonesia dan Belanda, baik dalam ranah seni, kuliner, hingga diplomasi budaya informal (people-to-people diplomacy). 

3. Menelaah dampak sosial, budaya, dan ekonomi dari Tong Tong Fair terhadap komunitas diaspora Indonesia di Belanda, serta perannya dalam memperkuat jejaring budaya transnasional.

Metode

    Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, sebagaimana dikemukakan oleh Robert K. Yin (2018) yang menjelaskan bahwa studi kasus merupakan metode penelitian yang paling tepat untuk menginvestigasi secara mendalam suatu fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan nyata, khususnya ketika batas antara fenomena dan konteksnya sulit dipisahkan. Selain itu, pendekatan ini juga merujuk pada John W.           

     Creswell (2013), yang menekankan bahwa penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami secara mendalam interpretasi individu atau kelompok terhadap suatu fenomena sosial-budaya. Selanjutnya, penelitian ini juga mengacu pada pandangan Lexy J. Moleong (2019), yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif digunakan untuk menggali makna secara komprehensif dari fenomena yang diamati dalam konteks aslinya. Dengan demikian, pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk memahami secara holistik bagaimana Tong Tong Fair merepresentasikan identitas Indo di Belanda, serta dampak budaya lintas negaranya secara kultural, sosial, maupun ekonomi.

         Berikut ini adalah langkah-langkah utama dalam metode penelitian pendekatan kualitatif dengan studi kasus: Tahap pertama melibatkan pengumpulan data dokumen dari arsip digital Tong Tong Fair, seperti katalog program, brosur elektronik, laporan tahunan, dan konten resmi festival yang tersedia di situs web tongtongfair.nl. Data visual dan audiovisual dianalisis melalui rekaman video dokumenter di kanal YouTube resmi festival, serta postingan media sosial (@tongtongfair) yang menampilkan aktivitas budaya, interaksi pengunjung, dan representasi identitas Indo-Belanda. Tahap kedua adalah analisis konten kualitatif terhadap teks, gambar, dan video untuk mengidentifikasi tema-tema seperti hibriditas budaya, nostalgia kolonial, dan dampak transnasional. Pendekatan semiotik digunakan untuk menginterpretasi simbol-simbol visual (misalnya penggunaan warna oranye-merah-putih dalam desain grafis) sebagai representasi identitas hybrid. Tahap ketiga melibatkan studi komparatif dengan penelitian terdahulu (seperti karya Rumtini dkk., 2024 atau Clarettha, 2020) untuk memvalidasi temuan dan mengisi celah penelitian. Triangulasi data dilakukan dengan memadukan hasil analisis dokumen, konten digital, dan literatur sekunder untuk memastikan keandalan hasil. Penulisan makalah difokuskan pada analisis kritis terhadap dinamika identitas yang terlihat dari perubahan kuratorial festival dalam kurun waktu 5-10 tahun terakhir, serta dampaknya pada persepsi budaya Indonesia di Belanda melalui media dan kolaborasi seni. Meski tanpa data primer langsung, penelitian ini tetap memberikan kontribusi akademis dengan mengungkap pola-pola representasi identitas dan dampak budaya melalui pendekatan kreatif berbasis sumber digital, sambil secara transparan mengakui keterbatasan metodologis dalam bagian pembahasan.

Tong Tong Fair sebagai Representasi Identitas Indo di Belanda

     Tong Tong Fair bukan sekadar festival budaya tahunan, tetapi telah menjadi ruang simbolik bagi komunitas Indo-Eurasia di Belanda untuk mengekspresikan dan menegosiasikan identitas mereka. Dalam konteks pascakolonial, identitas Indo tidak bersifat tunggal atau tetap, melainkan cair dan terus dibentuk ulang melalui praktik budaya, seperti kuliner, musik, pakaian tradisional (seperti kebaya), serta narasi sejarah dalam diskusi publik. Pada periode 2020–2024, tema-tema seperti “akar budaya”, “nostalgia Hindia”, dan “kebanggaan multikultural” muncul dalam berbagai bentuk representasi di festival.

     Di tengah masyarakat Belanda yang semakin multikultural, Tong Tong Fair berperan sebagai tempat bertemunya generasi-generasi Indo dari berbagai latar belakang. Identitas yang ditampilkan tidak monolitik, tetapi bersifat hibrid dan dinamis, mencerminkan memori kolonial, migrasi, dan pengalaman diaspora kontemporer. Dalam setiap edisinya, festival ini memperlihatkan ekspresi budaya yang unik: mulai dari makanan seperti rijsttafel dan spekkoek, musik Indorock dan kroncong, hingga pertunjukan tari tradisional dan forum diskusi tentang warisan campuran.

    Generasi kedua dan ketiga Indo mulai mengambil peran lebih besar dalam kurasi dan pelaksanaan acara, menunjukkan pergeseran dari sekadar pelestarian menuju reinterpretasi identitas. Festival ini juga memperlihatkan bagaimana identitas Indo tidak hanya dipertahankan, tetapi juga dipertontonkan sebagai aset budaya yang unik di tengah masyarakat Belanda yang multikultural. 

     Partisipasi aktif dari generasi kedua dan ketiga Indo pada periode ini juga menjadi tanda bahwa identitas Indo tidak sedang menghilang, melainkan mengalami transformasi. Anak-anak muda Indo mulai terlibat dalam kurasi program, menciptakan ruang diskusi seputar mixed-race heritage, serta menghadirkan inovasi kultural seperti desain busana kebaya modern dan musik elektronik dengan sentuhan gamelan atau Indorock. Dengan cara ini, festival tidak sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga menjadi laboratorium kultural di mana identitas Indo dibentuk ulang secara kreatif.

 Dampak Pandemi terhadap Dinamika Festival

    Pandemi COVID-19 membawa dampak signifikan terhadap keberlangsungan dan dinamika penyelenggaraan Tong Tong Fair pada periode 2020 hingga 2024. Sebagai festival budaya diaspora tertua dan terbesar di Belanda, Tong Tong Fair selama puluhan tahun menjadi ruang penting bagi komunitas Indo-Eurasia untuk bertemu, menampilkan identitas budayanya, dan memperkuat koneksi lintas generasi. Namun, pandemi memaksa realitas ini berubah secara drastis.

      Tahun 2020 dan 2021 menjadi titik balik yang tidak terduga. Untuk pertama kalinya sejak berdiri pada tahun 1959, festival dibatalkan sepenuhnya dalam bentuk fisik. Pembatalan ini bukan hanya berdampak pada agenda budaya tahunan, tetapi juga memengaruhi tatanan sosial dan ekonomi komunitas Indo di Belanda. Banyak pelaku usaha kecil—terutama di bidang kuliner, kerajinan, dan pertunjukan seni—kehilangan panggung utama mereka untuk berjualan dan menampilkan karya, sehingga mengalami penurunan pendapatan yang signifikan. Tidak sedikit di antaranya yang menggantungkan sebagian besar penghasilan tahunan mereka pada festival ini.

   Meskipun demikian, pandemi juga memicu inovasi. Penyelenggara Tong Tong Fair berusaha menjaga keberlanjutan dan relevansi festival dengan mengalihkan sebagian program ke format digital. Digelar secara daring, berbagai acara seperti diskusi sejarah kolonial, demo memasak, konser musik kroncong, dan tur virtual bazar tetap dihadirkan untuk publik. Meski kehilangan unsur kedekatan fisik, pendekatan ini justru membuka akses bagi diaspora Indonesia di negara-negara lain yang sebelumnya tidak dapat hadir secara langsung di Den Haag. Dengan demikian, Tong Tong Fair untuk pertama kalinya benar-benar menjadi festival diaspora berskala global dalam makna digital.

     Namun, adaptasi digital ini juga memiliki keterbatasan. Festival Tong Tong Fair selama ini bukan sekadar tontonan budaya, tetapi sebuah pengalaman interaktif: mencicipi makanan, berdansa bersama, menyentuh produk lokal, dan bertemu keluarga atau teman komunitas yang jarang ditemui di luar festival. Nuansa emosional dan sosial ini tidak sepenuhnya dapat digantikan oleh layar komputer. Oleh karena itu, ketika festival kembali digelar secara fisik pada 2022 dan 2023, sambutan masyarakat sangat antusias, meskipun masih dalam skala terbatas karena pembatasan kesehatan.

    Ironisnya, tekanan finansial yang menumpuk selama pandemi memperparah situasi organisasi festival. Beban biaya operasional, kehilangan sponsor tetap, dan ketidakpastian ekonomi membuat Tong Tong Holding B.V., badan hukum penyelenggara festival, mengumumkan kebangkrutan pada Mei 2024. Pembatalan edisi ke-64 yang dijadwalkan tahun itu bukan hanya menjadi pukulan besar bagi komunitas diaspora, tetapi juga menandai kekhawatiran akan hilangnya ruang publik utama yang selama ini menjadi titik temu sejarah, budaya, dan identitas Indo di Belanda.

     Dengan demikian, pandemi tidak hanya menyebabkan gangguan temporer terhadap festival Tong Tong Fair, tetapi juga mengungkap kerentanan struktural dalam tata kelola budaya diaspora. Meski sempat membuka peluang digital dan ekspansi global, pandemi juga menunjukkan bahwa keberlanjutan budaya membutuhkan dukungan yang kokoh—baik secara ekonomi, sosial, maupun kelembagaan. Tong Tong Fair pada akhirnya menjadi cermin dari bagaimana komunitas diaspora bertahan, beradaptasi, dan tetap memperjuangkan eksistensinya dalam menghadapi krisis global.

Pertukaran Budaya dan Diplomasi Lintas Negara

    Tong Tong Fair bukan sekadar festival budaya tahunan, tetapi telah berkembang menjadi wahana pertukaran budaya yang aktif dan bentuk diplomasi budaya informal antara Indonesia dan Belanda. Pada periode 2020–2024, fungsi ini semakin tampak jelas, terutama dalam konteks hubungan pascakolonial yang masih terus dinegosiasikan oleh kedua negara.

   Sejak awal berdirinya, Tong Tong Fair telah berfungsi sebagai jembatan emosional dan kultural bagi masyarakat Indo-Eurasia—komunitas yang memiliki akar sejarah di masa kolonial Hindia-Belanda. Namun dalam dua dekade terakhir, terutama sejak edisi festival memasuki abad ke-21, keterlibatan pihak Indonesia, baik secara individu maupun institusional, meningkat tajam. Dalam hal ini, periode 2020–2024 menampilkan kemitraan yang lebih terstruktur antara panitia festival dan lembaga-lembaga resmi seperti Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia.

        Pada edisi-edisi setelah pandemi, khususnya tahun 2022 dan 2023, kehadiran “Paviliun Indonesia” menjadi sorotan penting. Di paviliun ini, pengunjung tidak hanya disuguhi makanan khas Indonesia, tetapi juga dapat mengikuti lokakarya membatik, demo memasak, pertunjukan tari daerah, serta diskusi tentang sejarah bersama Indonesia-Belanda. Seniman, pengrajin, dan pelaku usaha dari Indonesia secara langsung terlibat, menciptakan dialog budaya yang dua arah. Salah satunya, yaitu kolaborasi seniman Yogyakarta-Belanda dalam pertunjukan wayang kulit dengan narasi modern tentang migrasi, menjadi contoh sukses dialog budaya setara. Para pengunjung festival—baik dari komunitas Indo, Belanda, maupun pengunjung internasional—dapat merasakan pengalaman budaya Indonesia secara langsung, tanpa perlu melakukan perjalanan fisik ke Indonesia.

   Inilah yang menjadikan Tong Tong Fair berperan sebagai bentuk nyata dari diplomasi budaya berbasis masyarakat atau people-to-people diplomacy. Diplomasi semacam ini tidak terjadi melalui negosiasi antara pejabat, tetapi melalui interaksi spontan antara individu, melalui cita rasa makanan, gerak tari, nada musik, dan narasi sejarah yang dikisahkan ulang oleh para pelaku budaya. Melalui cara ini, citra Indonesia sebagai bangsa yang kaya, inklusif, dan terbuka semakin diperkuat di mata publik Eropa, khususnya masyarakat Belanda.

   Lebih dari itu, pertukaran budaya yang terjadi di Tong Tong Fair juga memberi dampak balik terhadap Indonesia. Festival ini menjadi ruang penting untuk memperkenalkan produk UMKM Indonesia ke pasar Eropa, membuka peluang kerja sama kreatif, dan memperluas diplomasi ekonomi berbasis budaya. Dalam konteks diaspora, hal ini mempererat hubungan emosional antara Indonesia dan keturunannya yang telah lama bermukim di Belanda, menjembatani kerinduan dan memperkuat rasa keterikatan terhadap budaya asal.

   Namun dinamika ini tidak lepas dari tantangan. Kompleksitas sejarah kolonial masih menjadi konteks diam-diam yang mewarnai hubungan antarbudaya. Oleh karena itu, pertukaran budaya di Tong Tong Fair bukan sekadar selebrasi, tetapi juga momen refleksi tentang sejarah, identitas, dan keberlanjutan hubungan antarbangsa. Ketika pertunjukan gamelan dan wayang dipentaskan berdampingan dengan diskusi seputar warisan kolonial atau peran perempuan Indo, maka terciptalah ruang dialog yang tidak hanya estetis, tetapi juga kritis.

   Secara keseluruhan, pada periode 2020–2024, Tong Tong Fair menunjukkan bahwa diplomasi dan pertukaran budaya dapat hadir secara nyata di ruang-ruang publik nonformal. Ia menjadi bukti bahwa diplomasi tidak harus berlangsung di meja konferensi, tetapi dapat tumbuh dari bawah—melalui cita rasa rendang, irama keroncong, dan tangan-tangan yang membatik dalam semangat kebersamaan. Dalam konteks ini, Tong Tong Fair tidak hanya mempertemukan dua bangsa, tetapi juga menyatukan generasi yang tumbuh dalam dua dunia.

Dampak Ekonomi terhadap Komunitas Diaspora Indo

    Selama periode 2020 hingga 2024, Tong Tong Fair tidak hanya berfungsi sebagai ruang pelestarian budaya Indo-Belanda, tetapi juga memainkan peran penting sebagai penggerak ekonomi bagi komunitas diaspora Indo di Belanda dan sekitarnya. Festival ini menjadi sumber penghidupan bagi berbagai lapisan masyarakat—mulai dari pedagang kuliner, pengrajin, hingga seniman pertunjukan. Kehadirannya menciptakan lapangan kerja sementara, mempromosikan usaha berbasis warisan budaya, dan mendukung pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Namun, di balik manfaatnya, muncul pula tantangan yang perlu dihadapi, seperti meningkatnya biaya partisipasi dan ketimpangan akses terhadap peluang ekonomi.

    Bagi banyak keluarga Indo-Belanda, Tong Tong Fair merupakan ajang tahunan yang krusial secara ekonomi. Penjual kuliner tradisional seperti rijsttafel, spekkoek, dan sate mengandalkan festival ini sebagai sumber pendapatan utama. Ketika festival kembali digelar pada 2022 setelah dua tahun absen, antusiasme pengunjung melonjak, dan beberapa stan mencatat penjualan hingga tiga kali lipat dibandingkan tahun-tahun sebelum pandemi. Selain itu, pengrajin dan UMKM yang menjual batik, kerajinan tangan, atau buku sejarah Hindia Belanda mendapatkan pasar langsung yang sulit dijangkau melalui jalur distribusi konvensional. Pada 2023, jumlah pelaku UMKM Indo yang berpartisipasi meningkat sekitar 30%, berkat dukungan logistik dan promosi dari Kedutaan Besar Republik Indonesia. Musisi dan seniman pertunjukan juga mendapat manfaat ekonomi—mereka bukan hanya tampil di panggung, tetapi juga menjual merchandise seperti CD, kaus, dan lukisan. Contoh nyata adalah keluarga Warung Spector yang menjual rempah-rempah dari Jawa dan mengaku bahwa lebih dari 50% pendapatan tahunannya diperoleh selama festival berlangsung.

      Namun, pandemi COVID-19 yang melanda pada 2020 mengubah segalanya secara drastis. Dengan pembatalan festival tahun itu, banyak pelaku usaha kehilangan sumber penghasilan utama mereka. Beberapa mencoba beralih ke platform digital seperti IndoBox (katering daring), tetapi pendapatan tetap merosot tajam. Di sisi lain, solidaritas komunitas tumbuh; organisasi seperti Indisch Platform menginisiasi penggalangan dana untuk membantu pelaku usaha yang paling terdampak. Pada 2021, festival kembali dalam skala terbatas dengan protokol kesehatan ketat. Hanya sekitar 40% pedagang biasa yang bisa berpartisipasi, namun panitia memberlakukan harga sewa stan yang lebih terjangkau sebagai bentuk dukungan pemulihan ekonomi.

   Kebangkitan ekonomi benar-benar terasa mulai 2022 hingga 2024. Festival kembali menarik lebih dari 75.000 pengunjung pada 2023—angka tertinggi sejak 2019—termasuk wisatawan dari Jerman dan Belgia yang turut mendongkrak sektor akomodasi dan kuliner di sekitar lokasi festival. Generasi muda Indo pun mulai terlibat dalam ekosistem ekonomi baru, seperti melalui startup IndoMarket dan Toko Indo, yang menjual produk diaspora secara daring dan menggunakan momentum festival sebagai ajang promosi. Kolaborasi dengan pemerintah semakin erat, terlihat dari program "Indo Entrepreneurs" yang diluncurkan pada 2023 untuk memberikan pelatihan dan akses modal bagi UMKM komunitas Indo. Studi kasus menarik datang dari Dapoer Van Breda, sebuah usaha katering yang meraih popularitas di Tong Tong Fair 2022 dan berhasil membuka restoran tetap di Rotterdam setahun kemudian.

     Meski perkembangan ini menggembirakan, beberapa tantangan tetap ada. Kenaikan biaya sewa stan—yang mencapai 20% sejak 2022—membuat sebagian pedagang tradisional kesulitan untuk ikut serta. Selain itu, festival kini juga menarik banyak pelaku usaha dari luar komunitas Indo, seperti stan makanan Jepang atau Thailand, yang dalam beberapa kasus menggeser perhatian dari warisan kuliner Indo. Tak sedikit pelaku usaha yang masih bergantung sepenuhnya pada event tahunan ini, tanpa keberlanjutan bisnis di luar festival.

     Namun demikian, tren positif mulai terlihat pada 2024. Produk-produk premium seperti kopi Java, spekkoek gourmet, dan batik hasil kolaborasi dengan desainer Belanda mulai menarik minat pasar yang lebih luas. Biro perjalanan kini menawarkan paket tur “Jejak Indo di Den Haag” yang terhubung dengan festival, memperluas manfaat ekonominya ke sektor pariwisata budaya. Bahkan, investor diaspora dari Amerika Serikat dan Australia mulai memandang Belanda sebagai pasar potensial bagi produk budaya dan warisan Indo.

    Secara keseluruhan, antara 2020 hingga 2024, Tong Tong Fair berhasil membuktikan perannya sebagai mesin ekonomi sirkular bagi diaspora Indo, mulai dari pedagang kaki lima hingga pelaku kreatif dan inovator muda. Meskipun pandemi sempat mengguncang fondasinya, festival ini keluar dari krisis dengan wajah yang lebih adaptif dan kolaboratif. Tantangan ke depan adalah menjamin bahwa pertumbuhan ekonomi ini bersifat inklusif dan berkelanjutan, tidak hanya menguntungkan segelintir pelaku besar. Dengan semangat solidaritas dan inovasi yang dimiliki komunitasnya, Tong Tong Fair memiliki potensi besar untuk terus menjadi contoh bagaimana warisan budaya tidak hanya dapat dilestarikan, tetapi juga dijadikan sumber penghidupan yang bermakna lintas generasi.

Dinamika Hibriditas dan Regenerasi Identitas

   Pada periode 2020 hingga 2024, Tong Tong Fair tampil bukan hanya sebagai festival budaya tahunan, melainkan sebagai ruang hidup di mana identitas Indo-Belanda terus mengalami pembaruan dan pergeseran. Festival ini mencerminkan dinamika hibriditas budaya dan regenerasi identitas yang semakin kompleks, ditandai oleh tarik-menarik antara pelestarian tradisi dan adaptasi modern. Generasi tua memelihara kenangan akan Hindia Belanda, sementara generasi muda Indo menafsirkan ulang warisan itu dalam konteks Eropa yang multikultural dan dinamis. Perbedaan ini tidak melulu menghadirkan konflik, melainkan juga membuka ruang untuk kolaborasi yang kreatif.

    Hibriditas sejak awal merupakan inti dari identitas Indo, hasil dari percampuran budaya Jawa, Belanda, Tionghoa, dan lainnya. Tong Tong Fair menjadi panggung tempat hibriditas ini tidak hanya dipertontonkan, tetapi juga dirayakan dan didiskusikan ulang. Kuliner menjadi simbol penting dari proses ini, dengan hadirnya hidangan fusion seperti nasi goreng klaverjas yang memadukan elemen Indonesia dan Belanda, atau erwtensoep versi Indo yang ditambah sambal. Bahasa pun menjadi medium campuran yang hidup; percakapan di stan-stan sering kali terdiri dari gabungan Belanda, Jawa, dan Melayu, seperti ungkapan “Lekker makan, toh?”. Dalam seni pertunjukan, kreativitas tidak dibatasi oleh pakem lama. Pada 2023, kelompok musik Krontjong Elektronik mengejutkan publik dengan memadukan melodi kroncong klasik dengan elemen synth-pop, memicu diskusi luas tentang batas modernisasi dalam kesenian Indo.

   Ketegangan antargenerasi juga mencuat dalam berbagai dimensi. Generasi lansia, yang merupakan bagian dari Indische generasi pertama, melihat Tong Tong Fair sebagai ruang nostalgia, tempat untuk mengenang Hindia Belanda yang telah hilang. Mereka cenderung mempertahankan bentuk festival seperti masa lalu, dengan fokus pada musik kroncong klasik dan suasana tradisional. Ketika pandemi membatasi pertemuan fisik pada 2020–2021, banyak dari mereka merasa kehilangan ritual sosial yang sangat emosional. Sebaliknya, generasi muda Indo-Belanda, terutama kalangan milenial dan Gen-Z, lebih tertarik pada narasi identitas hybrid yang kritis. Mereka membawa isu-isu kontemporer seperti anti-rasisme, keberlanjutan, dan eksplorasi sejarah kolonial dalam format baru: konten TikTok, podcast, atau vlog. Salah satu proyek yang mencerminkan titik temu antargenerasi adalah "Verhalen van Oma" (Cerita Nenek), di mana generasi muda mendokumentasikan kisah para lansia dalam bentuk film pendek dan instalasi seni yang dipamerkan pada edisi 2024.

  Selama lima tahun terakhir, identitas Indo telah mengalami pergeseran yang signifikan—dari eksklusif menjadi inklusif, dari pasif menjadi kritis. Jika dulu komunitas Indo cenderung tertutup dan hanya mencakup individu yang secara biologis keturunan campuran, kini Tong Tong Fair menunjukkan keterbukaan kepada siapa pun yang memiliki keterkaitan dengan warisan Hindia Belanda, termasuk pasangan non-Indo, anak adopsi, atau komunitas diaspora lain. Narasi lama yang menekankan “masa lalu yang indah” kini dibarengi dengan wacana kritis mengenai ketidakadilan kolonial, termasuk peran budak dalam sejarah keluarga Indo. Seniman dari latar belakang Indo-Suriname dan Indo-Amerika mulai tampil dan berbagi pengalaman mereka, memperluas definisi identitas Indo ke arah yang lebih kosmopolitan dan global.

   Namun, proses regenerasi identitas ini tidak lepas dari tantangan. Sebagian pihak mengkhawatirkan “pengaburan” budaya jika modernisasi dilakukan terlalu jauh, misalnya ketika musik kroncong di-remix dengan beat EDM. Kesenjangan generasi pun tak terhindarkan; sebagian anak muda merasa terlalu “Belanda” untuk merasa Indo, atau sebaliknya, terlalu “Indonesia” untuk merasa sepenuhnya Eropa. Selain itu, komersialisasi festival yang terus berkembang terkadang berbenturan dengan upaya pelestarian otentisitas, terutama ketika stan-stan makanan fusion mewah menggantikan makanan rumahan yang sederhana.

    Meski demikian, pada 2024, Tong Tong Fair berhasil menunjukkan bahwa identitas Indo bukanlah benda statis dalam museum, melainkan entitas cair yang terus mengalir. Inovasi seperti pameran virtual reality tentang kehidupan di Jawa tahun 1930-an menarik minat generasi muda dan memperluas pengalaman sejarah secara imersif. Perkawinan antarbudaya juga membawa perspektif baru; pasangan campur Belanda-Indo dengan latar lain menciptakan tradisi hibrida, seperti menggabungkan perayaan Natal dengan Lebaran. Festival ini juga menjadi simpul pertemuan diaspora global, dari Australia hingga Amerika, memperkuat jaringan transnasional yang berakar pada pengalaman dan warisan bersama.

    Singkatnya, dalam lima tahun terakhir, Tong Tong Fair telah menjadi cermin hidup dari transformasi identitas Indo. Hibriditas kini bukan sekadar warisan, melainkan proses aktif yang terus diperbarui. Meskipun terdapat perbedaan pandangan antar generasi, justru dalam ketegangan dan dialog tersebut identitas Indo tetap relevan dan berkembang. Tantangan ke depan adalah menjaga keseimbangan antara pelestarian dan inovasi—merawat akar tanpa terjebak dalam romantisasi masa lalu, serta membuka ruang bagi pembaruan tanpa kehilangan inti kulturalnya. Yang pasti, identitas “Indo” hari ini bukan lagi sekadar soal darah, melainkan tentang cerita yang terus ditulis ulang oleh komunitas yang hidup, dinamis, dan penuh semangat regenerasi.

Tantangan Keberlanjutan Festival di Masa Depan

     Dalam lima tahun ke depan (2025–2030), Tong Tong Fair menghadapi tantangan yang semakin kompleks seiring dengan tuntutan zaman yang terus berubah. Sebagai festival budaya Indo-Belanda yang telah berlangsung lebih dari enam dekade, festival ini perlu bertransformasi tanpa kehilangan jati dirinya. Regenerasi partisipan menjadi isu mendesak karena komunitas inti semakin menua, sementara generasi muda menunjukkan keterikatan budaya yang lebih longgar. Upaya edukasi kreatif melalui media sosial dan pelibatan anak muda dalam produksi acara menjadi strategi penting untuk menjaga keberlanjutan identitas. Dari sisi finansial, tekanan biaya dan meningkatnya komersialisasi mengancam keotentikan festival. Oleh karena itu, pendekatan pendanaan berbasis komunitas serta kemitraan strategis dengan lembaga kebudayaan menjadi solusi potensial.

    Dalam konteks relevansi budaya, festival ini perlu memperluas narasinya agar tidak hanya terjebak dalam nostalgia, melainkan juga menjadi ruang refleksi dan dialog lintas komunitas tentang identitas dan sejarah pascakolonial. Isu lingkungan juga menuntut perhatian, karena jejak karbon dan limbah menjadi sorotan kalangan muda. Inovasi seperti konsep zero-waste dan program edukasi keberlanjutan dapat memperkuat komitmen ekologis festival. Di tengah era digital, Tong Tong Fair dihadapkan pada dilema antara mempertahankan pengalaman fisik dan memenuhi ekspektasi audiens digital. Pendekatan hybrid, seperti penggunaan teknologi AR dan VR, menjadi peluang untuk memperluas akses tanpa mengorbankan keaslian.

    Keseluruhan, masa depan Tong Tong Fair bergantung pada keberanian untuk berinovasi secara inklusif dan kolaboratif. Jika mampu menggabungkan kekuatan tradisi dengan kreativitas baru, festival ini tak hanya akan bertahan, tetapi juga berkembang sebagai model budaya yang relevan, dinamis, dan transformatif di tengah dunia yang terus berubah.

Kesimpulan

        Tong Tong Fair bukan sekadar festival budaya tahunan, tetapi telah berkembang menjadi simbol hidup dari identitas Indo di Belanda pada periode 2020–2024. Dalam lima tahun terakhir, festival ini berhasil mempertahankan fungsinya sebagai ruang memori kolektif, media pertukaran lintas generasi, serta platform untuk diplomasi budaya dan ekonomi komunitas diaspora. Meskipun pandemi COVID-19 sempat mengganggu penyelenggaraan secara fisik, Tong Tong Fair mampu beradaptasi melalui inovasi digital, memperluas cakupan pengaruhnya hingga menjangkau diaspora Indo secara global. 

       Festival ini juga mencerminkan dinamika hibriditas budaya yang terus berkembang, di mana generasi muda Indo tidak hanya mewarisi identitas kolonial tetapi secara aktif membentuk ulang narasi mereka dalam konteks multikulturalisme kontemporer. Di sisi lain, Tong Tong Fair juga menjadi penggerak ekonomi kreatif berbasis warisan, membuka peluang usaha dan memperkuat jejaring komunitas diaspora. Selain itu, partisipasi berbagai pihak—pemerintah, seniman, akademisi, dan pelaku usaha—menjadikan Tong Tong Fair sebagai instrumen diplomasi kultural yang efektif antara Belanda, Indonesia, dan komunitas diaspora lainnya.

    Dengan tantangan yang masih ada, seperti regenerasi audiens, tekanan finansial, serta relevansi dalam wacana postkolonial, masa depan Tong Tong Fair akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk berinovasi secara inklusif. Jika dikelola dengan bijak, festival ini bukan hanya akan terus merepresentasikan identitas Indo-Belanda, tetapi juga menjadi model partisipasi budaya yang transnasional dan berkelanjutan di abad ke-21.

Saran

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi peneliti dan pembaca mengenai representasi Tong Tong Fair dalam membentuk identitas budaya komunitas Indo di Belanda selama periode 2020–2024, terutama dampaknya terhadap pertukaran budaya lintas negara antara Indonesia dan Belanda, baik dalam ranah seni, kuliner, hingga diplomasi budaya informal.

DAFTAR PUSTAKA

T.-D. Truong, D. Gasper (eds.), Transnational Migration and Human Security, Hexagon          

            Series on Human and Environmental Security and Peace 6, DOI 

            10.1007/978-3-642-12757-1_1, © Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2011

Pattynama, P. (2012). "Cultural Memory and Indo-Dutch Identity Formations" (Jurnal   

            Postcolonial Studies).

Van Leeuwen, L. (2018). "From Colonial Nostalgia to Multicultural Festival: The Case of   

            Tong Tong Fair" (Jurnal Asian Diasporic Studies).

Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2017). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Sage publications.

Yin, R. K. (2018). Case Study Research. SAGE.

Tong Tong Fair. (2020, September 30). Talkshow op 30 oktober: Mee uit de Oost, gekoesterd in de West (Batik in Nederland). Tong Tong Fair. https://tongtongfair.nl/nieuws/talkshow-op-30-oktober-mee-uit-de-oost-gekoesterd-in-de-west-batik-in-nederland/

"Eerste dagen sfeerimpressie." Tong Tong Fair, 6 Sept. 2022, https://tongtongfair.nl/nieuws/eerste-dagen-sfeerimpressie/.

Tong Tong Fair. "Tong Tong Fair kijkt met gemengde gevoelens terug op 63e editie." Tong Tong Fair, 11 Sept. 2023, https://tongtongfair.nl/nieuws/tong-tong-fair-kijkt-met-gemengde-gevoelens-terug-op-63e-editie/.

Tong Tong Fair. (2024, April 19). 64e Tong Tong Fair in aantocht. Tong Tong Fair. https://tongtongfair.nl/nieuws/64e-tong-tong-fair-in-aantocht/

Rumtini, S., Hartono, B., & Putri, R. (2024). Tong Tong Fair sebagai representasi memori kolektif dan identitas diaspora Indo. Jurnal Antropologi Budaya, 15(2), 89–105.

Eleonora, E., Wijaya, S., & Darmawan, A. (2024). Dampak Tong Tong Fair terhadap perekonomian diaspora Indonesia di Belanda. Jurnal Studi Diaspora Indonesia, 12(3), 45–67.

Naftally Clarettha & Pesulima, Barbara Elisabeth Lucia. 2020. Perkembangan Tong-Tong

            Fair dari Masa ke Masa. The Development Of Tong Tong Fair From Time To Time.

            Depok: Universitas Indonesia.

Ranasenjaya, Dwi. "Tong Tong Fair sebagai Instrumen Diplomasi Budaya Indonesia di Belanda." Jurnal Hubungan Internasional, vol. 8, no. 1, 2024, pp. 112–130.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun