Mohon tunggu...
Maheswari Audreyka TW
Maheswari Audreyka TW Mohon Tunggu... Mahasiswa

Membaca buku, bermain alat musik, mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tong Tong Fair: Identitas Indo di Belanda dan Dampaknya Pada Budaya Lintas Negara Periode 2020-2024

3 Juni 2025   18:28 Diperbarui: 3 Juni 2025   18:36 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

    Bagi banyak keluarga Indo-Belanda, Tong Tong Fair merupakan ajang tahunan yang krusial secara ekonomi. Penjual kuliner tradisional seperti rijsttafel, spekkoek, dan sate mengandalkan festival ini sebagai sumber pendapatan utama. Ketika festival kembali digelar pada 2022 setelah dua tahun absen, antusiasme pengunjung melonjak, dan beberapa stan mencatat penjualan hingga tiga kali lipat dibandingkan tahun-tahun sebelum pandemi. Selain itu, pengrajin dan UMKM yang menjual batik, kerajinan tangan, atau buku sejarah Hindia Belanda mendapatkan pasar langsung yang sulit dijangkau melalui jalur distribusi konvensional. Pada 2023, jumlah pelaku UMKM Indo yang berpartisipasi meningkat sekitar 30%, berkat dukungan logistik dan promosi dari Kedutaan Besar Republik Indonesia. Musisi dan seniman pertunjukan juga mendapat manfaat ekonomi—mereka bukan hanya tampil di panggung, tetapi juga menjual merchandise seperti CD, kaus, dan lukisan. Contoh nyata adalah keluarga Warung Spector yang menjual rempah-rempah dari Jawa dan mengaku bahwa lebih dari 50% pendapatan tahunannya diperoleh selama festival berlangsung.

      Namun, pandemi COVID-19 yang melanda pada 2020 mengubah segalanya secara drastis. Dengan pembatalan festival tahun itu, banyak pelaku usaha kehilangan sumber penghasilan utama mereka. Beberapa mencoba beralih ke platform digital seperti IndoBox (katering daring), tetapi pendapatan tetap merosot tajam. Di sisi lain, solidaritas komunitas tumbuh; organisasi seperti Indisch Platform menginisiasi penggalangan dana untuk membantu pelaku usaha yang paling terdampak. Pada 2021, festival kembali dalam skala terbatas dengan protokol kesehatan ketat. Hanya sekitar 40% pedagang biasa yang bisa berpartisipasi, namun panitia memberlakukan harga sewa stan yang lebih terjangkau sebagai bentuk dukungan pemulihan ekonomi.

   Kebangkitan ekonomi benar-benar terasa mulai 2022 hingga 2024. Festival kembali menarik lebih dari 75.000 pengunjung pada 2023—angka tertinggi sejak 2019—termasuk wisatawan dari Jerman dan Belgia yang turut mendongkrak sektor akomodasi dan kuliner di sekitar lokasi festival. Generasi muda Indo pun mulai terlibat dalam ekosistem ekonomi baru, seperti melalui startup IndoMarket dan Toko Indo, yang menjual produk diaspora secara daring dan menggunakan momentum festival sebagai ajang promosi. Kolaborasi dengan pemerintah semakin erat, terlihat dari program "Indo Entrepreneurs" yang diluncurkan pada 2023 untuk memberikan pelatihan dan akses modal bagi UMKM komunitas Indo. Studi kasus menarik datang dari Dapoer Van Breda, sebuah usaha katering yang meraih popularitas di Tong Tong Fair 2022 dan berhasil membuka restoran tetap di Rotterdam setahun kemudian.

     Meski perkembangan ini menggembirakan, beberapa tantangan tetap ada. Kenaikan biaya sewa stan—yang mencapai 20% sejak 2022—membuat sebagian pedagang tradisional kesulitan untuk ikut serta. Selain itu, festival kini juga menarik banyak pelaku usaha dari luar komunitas Indo, seperti stan makanan Jepang atau Thailand, yang dalam beberapa kasus menggeser perhatian dari warisan kuliner Indo. Tak sedikit pelaku usaha yang masih bergantung sepenuhnya pada event tahunan ini, tanpa keberlanjutan bisnis di luar festival.

     Namun demikian, tren positif mulai terlihat pada 2024. Produk-produk premium seperti kopi Java, spekkoek gourmet, dan batik hasil kolaborasi dengan desainer Belanda mulai menarik minat pasar yang lebih luas. Biro perjalanan kini menawarkan paket tur “Jejak Indo di Den Haag” yang terhubung dengan festival, memperluas manfaat ekonominya ke sektor pariwisata budaya. Bahkan, investor diaspora dari Amerika Serikat dan Australia mulai memandang Belanda sebagai pasar potensial bagi produk budaya dan warisan Indo.

    Secara keseluruhan, antara 2020 hingga 2024, Tong Tong Fair berhasil membuktikan perannya sebagai mesin ekonomi sirkular bagi diaspora Indo, mulai dari pedagang kaki lima hingga pelaku kreatif dan inovator muda. Meskipun pandemi sempat mengguncang fondasinya, festival ini keluar dari krisis dengan wajah yang lebih adaptif dan kolaboratif. Tantangan ke depan adalah menjamin bahwa pertumbuhan ekonomi ini bersifat inklusif dan berkelanjutan, tidak hanya menguntungkan segelintir pelaku besar. Dengan semangat solidaritas dan inovasi yang dimiliki komunitasnya, Tong Tong Fair memiliki potensi besar untuk terus menjadi contoh bagaimana warisan budaya tidak hanya dapat dilestarikan, tetapi juga dijadikan sumber penghidupan yang bermakna lintas generasi.

Dinamika Hibriditas dan Regenerasi Identitas

   Pada periode 2020 hingga 2024, Tong Tong Fair tampil bukan hanya sebagai festival budaya tahunan, melainkan sebagai ruang hidup di mana identitas Indo-Belanda terus mengalami pembaruan dan pergeseran. Festival ini mencerminkan dinamika hibriditas budaya dan regenerasi identitas yang semakin kompleks, ditandai oleh tarik-menarik antara pelestarian tradisi dan adaptasi modern. Generasi tua memelihara kenangan akan Hindia Belanda, sementara generasi muda Indo menafsirkan ulang warisan itu dalam konteks Eropa yang multikultural dan dinamis. Perbedaan ini tidak melulu menghadirkan konflik, melainkan juga membuka ruang untuk kolaborasi yang kreatif.

    Hibriditas sejak awal merupakan inti dari identitas Indo, hasil dari percampuran budaya Jawa, Belanda, Tionghoa, dan lainnya. Tong Tong Fair menjadi panggung tempat hibriditas ini tidak hanya dipertontonkan, tetapi juga dirayakan dan didiskusikan ulang. Kuliner menjadi simbol penting dari proses ini, dengan hadirnya hidangan fusion seperti nasi goreng klaverjas yang memadukan elemen Indonesia dan Belanda, atau erwtensoep versi Indo yang ditambah sambal. Bahasa pun menjadi medium campuran yang hidup; percakapan di stan-stan sering kali terdiri dari gabungan Belanda, Jawa, dan Melayu, seperti ungkapan “Lekker makan, toh?”. Dalam seni pertunjukan, kreativitas tidak dibatasi oleh pakem lama. Pada 2023, kelompok musik Krontjong Elektronik mengejutkan publik dengan memadukan melodi kroncong klasik dengan elemen synth-pop, memicu diskusi luas tentang batas modernisasi dalam kesenian Indo.

   Ketegangan antargenerasi juga mencuat dalam berbagai dimensi. Generasi lansia, yang merupakan bagian dari Indische generasi pertama, melihat Tong Tong Fair sebagai ruang nostalgia, tempat untuk mengenang Hindia Belanda yang telah hilang. Mereka cenderung mempertahankan bentuk festival seperti masa lalu, dengan fokus pada musik kroncong klasik dan suasana tradisional. Ketika pandemi membatasi pertemuan fisik pada 2020–2021, banyak dari mereka merasa kehilangan ritual sosial yang sangat emosional. Sebaliknya, generasi muda Indo-Belanda, terutama kalangan milenial dan Gen-Z, lebih tertarik pada narasi identitas hybrid yang kritis. Mereka membawa isu-isu kontemporer seperti anti-rasisme, keberlanjutan, dan eksplorasi sejarah kolonial dalam format baru: konten TikTok, podcast, atau vlog. Salah satu proyek yang mencerminkan titik temu antargenerasi adalah "Verhalen van Oma" (Cerita Nenek), di mana generasi muda mendokumentasikan kisah para lansia dalam bentuk film pendek dan instalasi seni yang dipamerkan pada edisi 2024.

  Selama lima tahun terakhir, identitas Indo telah mengalami pergeseran yang signifikan—dari eksklusif menjadi inklusif, dari pasif menjadi kritis. Jika dulu komunitas Indo cenderung tertutup dan hanya mencakup individu yang secara biologis keturunan campuran, kini Tong Tong Fair menunjukkan keterbukaan kepada siapa pun yang memiliki keterkaitan dengan warisan Hindia Belanda, termasuk pasangan non-Indo, anak adopsi, atau komunitas diaspora lain. Narasi lama yang menekankan “masa lalu yang indah” kini dibarengi dengan wacana kritis mengenai ketidakadilan kolonial, termasuk peran budak dalam sejarah keluarga Indo. Seniman dari latar belakang Indo-Suriname dan Indo-Amerika mulai tampil dan berbagi pengalaman mereka, memperluas definisi identitas Indo ke arah yang lebih kosmopolitan dan global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun