Mohon tunggu...
Athari Farhani
Athari Farhani Mohon Tunggu... Konsultan - A Learner

Ambisi Tidak Pernah Mengenal Kata Akhir https://www.instagram.com/atfarhani/

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hambatan Arah Penegakan Hukum dan Demokrasi Pasca Pemilu 2019

10 November 2019   23:57 Diperbarui: 22 Januari 2020   19:00 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak bangsa ini bertekad dalam membangun Negara Republik Indonesia, kita harus siap dan sadar untuk menerima segala kenyataan bahwa tekad itu merupakan agenda sejarah di masa depan yang perlu diraih setapak demi setapak. 

Namun perlu dipahami secara seksama bahwa tidak ada sistem politik yang benar-benar sempurna. Sejarah pun telah mencatat beragam kekuasan politik dengan sumber legitimasi yang beragam. 

Ada yang mengklaim kekuasaan itu sebagai mandat Tuhan (teokrasi), ada yang diperoleh dari garis keturunan (kerajaan), atau ada juga melalui pemilihan umum atau biasa yang disebut dengan demokrasi. Tidak dipungkiri secara teoritis semuanya memiliki argumen dalam menunjukan keunggulanya masing-masing.

Secara historis-empiris memang demokrasi memiliki keunggulan tersendiri, dimana adanya suatu mekanisme kontrol serta partisipasi masyarakat. Pasca amandemen kebebasan berpendapat mulai terakomodir dalam konstitusi yakni di Pasal 28 UUD NRI 1945. 

Namun fenomena tersebut cukup kontras, bagaimana tidak? Sikap demokrasi tersebut ditunjukan terjadi secara vis a vis antara masyarakat dan penguasa. 

Disatu sisi, masyarakat berkeinginan kuat untuk berpartisipasi dalam proses penentuan kebijakan publik. Namun disisi lain, para elit masih enggan melepaskan taring kekuasaanya untuk didistribusikan kekancah publik. Freire mendefinisikan bentuk kesadaran sejati sebagai proses humanisasi dimana ada aktivitas yang mampu berdialektika dan berkomunikasi dengan kepentingan publik. 

Namun kenyataanya praktik kekuasaan para elite justru menghadirkan sebuah kesadaran berdemokrasi yang palsu. Dimana adanya ketidaksesuaian antara retorika berdemokrasi dengan impelementasi kebijakan yang bersinggungan langsung dengan publik. Mereka yang awalnya gigih memperjuangkan demokrasi, namun tatkala masuk dalam elite kekuasaan kerap terjangkit political myopic, suatu penyakit mental yang tidak lagi mampu melihat visi politik jauh kedepan, dengan kata lain mereka yang terjangkit political myopic hanya berfikir dan mengejar kepentingan hari ini. 

Karena mata dan hati serta pikiran intelektual mereka tertutup sehingga tidak dapat mampu melihat kepentingan masa depan bangsa. Inilah berbagai jebakan yang pada akhirnya menghadang segala penegakan demokrasi dan pembangunan bangsa ini. Karena sejarah mencatat negara yang berhasil menerapkan demokrasi adalah negara yang mampu memelihara keseimbangan antara kebebasan, penegakan hukum, pemerataan pendidikan serta perbaikan ekonomi. Jika dua pilar pertama tadi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya jangan berharap proses demokrasi akan berjalan sebagai mana yang dicita-citakan.

Tak dapat dipungkiri bahwasanya hambatan demokrasi di negeri ini salah satunya penegakan hukum di Indonesia yang berjalan lambat bahkan begitu memperihatinkan. Terjadinya suatu ketimpangan antara das sollen dan das sein. Berbagai macam penyelesaian kasus besar yang hingga kini masih belum tuntas, praktek Korupsi yang terus menjalar seperti virus akut, aparat penegak hukum yang rentan praktik suap, serta pelanggaran-pelanggaran kasus HAM yang sampai detik ini pun masih tanda tanya. Melihat kondisi demikian nampaknya kita perlu bercermin pada tujuan hukum itu sendiri yakni menciptakan rasa keadilan. Penegakan hukum tidak akan berjalan efektif apabila keadilan dalam masyarakat belum dirasakan. Karena sejatinya hukum merupakan suatu instrumen yang dibutuhkan keberadaanya untuk mewujudkan dan menjaga tatanan kehidupan dalam masyarakat yang harmonis. Dan kehidupan yang harmonis dapat tercapai manakala keadilan dapat terpelihara serta dapat ditegakkan. Masyarakat yang telah menikmati kebebasan sipil dan politik di era demokrasi telah jenuh dengan hingar-bingar demokrasi yang tidak kunjung membawa perubahan hukum, sosial, serta ekonomi. mereka memandang demokrasi tidak diikuti dengan penegakan hukum yang memberikan rasa keadilan dalam masyarakat.

Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis sejatinya menganut prinsip kedaulatan rakyat sekaligus kedaulatan hukum sebagaimana yang termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945. sebagaimana alinea ke 4 "...maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.." hal tersebut ditegaskan juga dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, serta dalam pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut mengartikan bahwa sebagai negara hukum segala tindakan penyelenggara negara dan warga negara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dalam hal ini hukum sebagaimana yang dimaksud adalah hierarki tatanan norma yang berpuncak pada konstitusi. Konstitusi merupakan produk seluruh rakyat serta merupakan kesepakatan umum (general agreement) dari warga negara secara menyeluruh di Republik ini. Segala norma hukum yang lebih rendah dan segala praktik kehidupan kenegaraan dan kebangsaan harus sesuai dengan Konstitusi.

Konstitusi merupakan sumber hukum tertinggi yang merupakan hasil perjanjian seluruh rakyat Indonesia. Jika sebelum amandemen, MPR merupakan pelaksana kedaulatan rakyat sepenuhnya. Namun pasca perubahan, kedaulatan dilaksanakan dalam bentuk kekuasaan penyelenggaraan negara, dimana kekuasaan tersebut dijalankan sesuai dengan wewenang lembaga negara. Kekuasaan mengubah dan menetapkan UUD 1945 ada ditangan MPR. Kekuasaan dalam membentuk Undang-Undang dipegang oleh DPR. Penyelenggaraan pemerintahan dipegang oleh Presiden. Kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Selain daripada itu perubahan UUD 1945 juga menentukan lembaga penyelenggaraan yang terkait dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing seperti DPD, BPK, KY, Bank Sentral, KPU, TNI maupun Polri. Selain daripada lembaga negara, kedaulatan dalam penyelenaggaraan negara juga dilaksanakan oleh rakyat dimana perwujudanya melalui mekanisme pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun