Mohon tunggu...
Asyrof FajarFarisudin
Asyrof FajarFarisudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

dont waste our time

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku: Hukum Perdata Islam di Indonesia

11 Maret 2023   22:29 Diperbarui: 11 Maret 2023   23:10 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah perkembangan hukum islam di Indonesia menurut para ahli bercorak Syafi’iyyah yang ditunjukkan dengan bukti  bahwa Sultan Malikul Zahir dari Samudra Pasai adalah seorang ahli agama juga ahli hukum Islam yang pamornya tidak perlu diragukan lagi yang terkenal pada pertengahan abad ke XIVM dan dilanjtkan perkembangannya pada abad XVII, XVIII, dan XIX. Setelah pada masa kerajaan hukum islam berkembang pada masa penjajahan VOC walaupun pada masa penjajahan hukum islam tidak mengalami hambatan untuk berkembang serta mempraktikkannya. VOC bisa dikatakan juga membantu untuk Menyusun compendium yang isinya memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisa Islam yang berlaku untuk umat Islam .

Kebijakan yang dilakukan Belanda terhadap hukum Islam antara lain adalah Receptie in Complexu juga Teori Receptie. Namun pada masa kemerdekaan teori yang dimunculkan oleh Belanda tidak lagi digunakan karena bertentangan dengan UUD 1945 dan Al-Quran oelh karena itu semua yang berhubungan denga Hukum Islam telah diatur dan juga diawasi oleh Kementrian Agama.

Kemudian pada masa setelah merdeka hukum islam juga berdampingan dengan berbagai partai politik.hingga dalam menentukan hukum Islam menuai banyaknya perpedaan pendapat dari banyaknya pendapat yang dikemukakan dan hingga munculnya UU No. 1/1974 sampai KHI.

Dalam hal prinsip perkawinan dalam UU No.1/1974 memiliki perspektif yang menyatakan bahwa perkawinan adalah hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi juga unsur batin atau rohani. Sedangkan dalam perspektif KHI Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Dari defininisi yang dikemukakan diatas bisa dicermati adanya perbedaan dengan perspektif fikih yang telah diuraiakan dalam kiab kitab hingga tampaknya para ulama mendefinisikan bahwa perkawinan semata-mata dalam konteks hubungan biologis saja.

Prinsin-prinsip Perkawinan menurut M.Yahya Harahap asas-asas yang dipandang cukup prinsip dalam UU Perkawinan adalah:

  • Menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia.
  • Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
  • Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal.
  • Perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing masing.
  • UU Perkawinan menganut asas monogami akan tetapi terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agama mengizinkannya.
  • Perkawinan dan pembentukan keluarga  dilakuan oleh pribadi yang telah matang jiwa dan raganya.
  • Kedudukan suami dan istri dalam keluarga adalah seimbang

Jika disederhanakan, asas perkawinan itu menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ada enam. (1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, (2) Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing, (3) Asas monogami, (4) Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya (5) Mempersulit terjadinya perceraian, (6) Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.

Rukun dan syarat perkawinan ada lima, calon suami-istri, wali, dua orang saksi, dan sighat. Dalam buku ini ditekankan menganai mahar sabagai syarat sah perkawinan para ulama menetapkan mahar hukumnya wajib didasarkan al-Quran ,sunnah dan ijma. Meski demikian  mahar itu wajib namun dalam penentuannya tetaplah harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan dan tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak boleh juga mengesankan asal ada atau apa adanya, sehingga calon istri tidak merasa di lecehkan atau disepelekan.

Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Undang-Undang Perkawinan hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan. Yang tercantum dalam Bab II pas 6 dan 7. Perspektif KHI

Berbeda dengan UU No 1/1974, KHI ketika mem-bahas rukun perkawinan tanpakya mengikuti sistematika fikih yang mengaitkan rukun dan syarat. Ini di muat dalam pasal 14. Kendatipun KHI menjelaskan lima rukun perkawinan sebagaimana fikih, ternyata dalam uraian persyaratannya KHI mengikuti UP yang melihat syarat hanya berkenaan dengan persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur.Yang menarik, pada pasal-pasal berikutnya juga di bahas tentang wali (pasal 19), saksi (pasal 24), akad nikah (pasal 27), namun sistematikanya diletakkan pada bagian yang terpisah dari pembahasan rukun. Sampai di sini, KHI tidak mengikuti skema fikih, juga tidak meng-ikuti UU No 1/1974 yang hanya membahas persyaratan perkawinan menyangkut kedua calon mempelai.

Dalam perspektif Islam, peminangan itu lebih mengacu untuk melihat kepribadian calon mempelai wanita seperti ketakwaan, keluhuran budi pekerti, kelembutan dan ketulusannya. Kendati demikian bukan berarti masalah fisik tidak penting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun