Mohon tunggu...
Aswin
Aswin Mohon Tunggu... Lainnya - Setiap waktu adalah kata

Berusaha menjadi penulis yang baik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Giyanto dan Risalah Kesenian

2 Juni 2022   16:31 Diperbarui: 2 Juni 2022   16:33 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Giyanto Subagio (kiri) bersama penulis buku motivasi The Spiritual Of Nature, Ahmad Saihu Imran (kanan)/Foto: As12

Sadar atau tidak, kehidupan yang kita jalani dan alami di alam semesta ini, terdiri dari struktur waktu yang berbeda. Namun demikian, keberadaan waktu yang berbeda itu,  tidak  dapat dipisahkan satu sama lainnya  didalam ruang kehidupan kita sebagai manusia, inheren : Waktu kemaren  (past), waktu sekarang (present), dan waktu yang akan datang (future). Ernest Casirer, mengungkapkan bahwa, " Manusia tidak dapat membangun masa depan tanpa menyadari kondisi kondisi masa kini dan perbatasan perbatasan masa lampau". Atau meminjam kata bersayapnya Herakleitos, "Jalan mendaki sekaligus jalan menurun".

Memahami ruang dan waktu dalam kehidupan kita manusia bukanlah pekerjaan mudah, dan diperlukan kerja keras dan kejujuran didalam memahaminya, sehingga menjadi bermakna bagi kehidupan kita manusia pada khususnya, dan alam sekitar pada umumnya. "Tidaklah Kami utus engkau (Wahai Muhammad), melainkan menjadi rakhmat bagi semesta alam, "demikian Sang Kekasih ber-Tutur dalam Surat Cinta-Nya, (Quran). Dalam Surat Cinta lainnya, Dia menuturkan secara eksplisit bahwa kita manusia adalah sebaik baik makhluk yang di ciptakan-Nya. Manusia di ciptakan dari dua unsur yang berbeda, jiwa dan raga, atau jasmani dan ruhani. 

Hasil penelitian dari seorang bapak fenomenologi, Marley Pounty adalah  suatu hal yang sangat menarik dan membantu kita dalam memahami fenomena jiwa dan raga, atau jasmani dan ruhani. Pounty, berusaha menjelaskan fenomena tubuh manusia didalam ruang kesenian "Mata dan Roh", khususnya pada seni lukis, le'visible. Bahwa pelukis menerangkan usaha badan kita manusia waktu melihat pemandangan, waktu bergerak dan berusaha. Ke-dalam-an dan sudut pandang harus dipanggil kembali hanya dengan garis, warna, cahaya, dan kontras diatas kertas atau kain dengan dua dimensi. Lalu bagaimana halnya dengan badan penulis atau jasmani pengarang?

Sebagaimana halnya pelukis, penulis atau pengarang pun berusaha menciptakan suatu dunia untuk pembacanya. Seperti pemain teater atau sandiwara menyeret kita memasuki zaman yang lampau dan mengundang kita mendiami instansi atau bermacam macam firdaus, juga penulis ataupun pengarang mengubah panggung hidup diatas halaman buku yang kita baca, terbukalah suatu alam baru dimana ruang dan waktu pun berubah, menyesuaikannya. Dengan kata lain, Ponty, pengen mengatakan, "bahwa hal yang rohani adalah juga daging". Atau meminjam istilahnya Rumi, "Serupa samudera dan bahtera". Bahwa Jasmani dan Ruhani adalah identik. Tidak dapat dipisahkan. Dan jika dipisahkan, maka akan kehilangan substansinya. Mati.

TUBUH SUBYEKTIF

Giyanto Subagio. Saya mengenal dirinya tak sengaja diruang terbuka-publik. Kemudian seorang guru dan juga sahabat, memperkenalkan dirinya kepada saya. "Beliau adalah seorang penyair, "demikian ungkapnya kepada saya, memperkenalkan seorang Giyanto. Dan seiring berjalannya waktu, kami pun sering bertemu dan akrab. Berdiskusi tentang kesemestaan.

Fenomena tubuh atau badan subyektif pun dapat diketemukan pada diri seorang Giyanto Subagio. Kuantitas pengalaman inderawinya diruang sosial itu,  mampu disampaikannya dalam bentuk risalah, yakni puisi. Dan risalah sosial lumayan sangat kental  (landscape) dalam puisi puisi seorang Giyanto Subagio, sehingga tidak mengherankan jika puisinya didaulat menjadi pemenang lomba puisi yang diselenggarakan oleh kementerian kelautan, sekitar tahun 90-an. Edo (Giyanto Subagio), begitu sapaan akrabnya dilingkungan kawan kawan Senen dan Kemayoran,  terbilang sangat produktif didalam berkarya. Dan untuk menampung risalah risalahnya itu, dibuatlah akun media sosial bernama "PABRIK PUISI GIYANTO SUBAGIO".

Buku Kasidah Bayang Bayang karya Giyanto Subagio/Foto: As12
Buku Kasidah Bayang Bayang karya Giyanto Subagio/Foto: As12

Sebagai badan subyektif (fenomenal), Giyanto Subagio, tidak hanya memiliki kemampuan memanggil kedalaman waktu dalam  puisi puisnya sebagai risalah kesenian, melainkan juga mampu menghadirkan badannya sebagai pelayan publik. Kepeduliannya terhadap pemberdayaan lingkungan dan  masyarakat (sosial-budaya) dapat diketemukan dalam jejak jejak kehidupannya, terutama disekitar wilayah Senen, Jakarta Pusat. Pernah suatu hari, Edo, membawa beras dari rumahnya untuk di konsumsi oleh kawan kawan di komunitas seni di Senen. Dan di Senen pula Edo bersama kawan kawan, membangun kepedulian religius dengan mengumpulkan zakat fitrah dan membagikannya kepada anggota di komunitas yang dianggap layak menerimanya.

Jauh sebelum Pendidikan Usia Dini (PAUD) menjamur di Jakarta, Edo dan juga kawan kawan di Senen, yang tergabung dalam Komunitas (sastra) Mentaya Estetika Jakarta, membuka ruang belajar membaca dan menulis huruf Indonesia dan Arab (Iqra) untuk anak anak gelandangan di sekitar stasiun Senen. Merubah ruang publik menjadi ruang budaya, sebenarnya sudah dilakukan oleh Edo dan kawan kawan di Senen, sebelum lahirnya Komunitas Planet Senen (KoP'S), yang mana Edo dan juga kawan kawan berada didalamnya. Atau meminjam istilahnya Emha Ainun Nadjib, "Kebudayaan adalah tugasnya agama". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun