Mohon tunggu...
ASWAN NASUTION
ASWAN NASUTION Mohon Tunggu... Kontributor Tetap

Menulis adalah bekerja untuk keabadian” Horas...Horas ..Horas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aksara Simalungun, Menelusuri Jejak Sejarah dan kondisinya saat ini

26 Agustus 2025   11:57 Diperbarui: 26 Agustus 2025   11:57 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aksara Simalungun: Menelusuri Jejak Sejarah dan Kebudayaan

Mempelajari aksara Simalungun (Surat Simalungun) adalah cara mendalam untuk mengenal kebudayaan dan sejarah suku Simalungun. Aksara ini bukan hanya alat tulis, tetapi juga cermin dari peradaban masa lalu yang kaya. Aksara Simalungun berakar dari Aksara Pallawa, sebuah sistem penulisan dari India Selatan. Aksara Pallawa dibawa ke Nusantara oleh para pedagang dan pendeta Hindu-Buddha sekitar abad ke-4 hingga ke-8 Masehi. Di berbagai daerah di Indonesia, aksara ini kemudian diadaptasi dan berkembang menjadi aksara-aksara lokal, seperti Aksara Kawi di Jawa dan Aksara Sumatra Kuno. Dari Aksara Sumatra Kuno inilah, kemudian muncul berbagai aksara daerah, termasuk aksara Batak. Jadi, aksara Simalungun bukan muncul secara independen, melainkan merupakan salah satu turunan dari sistem aksara yang lebih tua yang berasal dari India. Aksara Simalungun memiliki hubungan sangat erat dengan aksara Batak lainnya, seperti aksara Toba, Karo, Angkola-Mandailing, dan Pakpak. Hubungan ini bisa dilihat dari kemiripan struktur dan bentuk hurufnya. Semua aksara ini berasal dari satu leluhur yang sama, yaitu Proto-Batak, yang merupakan turunan dari Aksara Sumatra Kuno. Meskipun memiliki asal yang sama, setiap aksara Batak telah mengalami perkembangan dan penyesuaian yang unik sesuai dengan dialek dan kebutuhan masing-masing suku. Misalnya, aksara Simalungun memiliki 19 huruf induk, berbeda dengan aksara Batak Toba yang juga punya variasi huruf. Perbedaan ini mencerminkan identitas budaya masing-masing suku.

Perkembangan aksara Simalungun sangat dipengaruhi oleh masuknya agama-agama baru ke wilayah Simalungun. Aksara ini secara bertahap mengalami pergeseran fungsi dan penggunaan, dari alat tulis utama menjadi bagian dari warisan budaya yang dilestarikan. Sebelum masuknya pengaruh Islam dan Kristen, aksara Simalungun (Surat Simalungun) digunakan secara luas oleh masyarakat Simalungun untuk berbagai keperluan. Fungsi utamanya adalah untuk: Pencatatan Adat: Digunakan untuk menuliskan hukum adat, silsilah keluarga, dan ritual-ritual tradisional. Sastra dan Pengetahuan: Aksara ini dipakai untuk menuliskan pustaha (kitab-kitab kuno dari kulit kayu) yang berisi tentang pengobatan, mantra, ramalan, dan cerita-cerita rakyat. Komunikasi: Surat-menyurat antarindividu atau antar kerajaan juga ditulis menggunakan aksara ini. Pada masa ini, aksara Simalungun merupakan bagian integral dari kehidupan sehari-hari dan sistem kepercayaan tradisional, yang dikenal dengan sebutan Habonaron do Bona (kebenaran adalah pangkalnya). Bentuk aksara ini juga sering diukir pada benda-benda budaya, seperti rumah adat dan alat-alat upacara, sebagai ornamen dan simbol.

Masuknya agama Islam dan Kristen secara signifikan mengubah peran aksara Simalungun. Kedua agama ini membawa sistem penulisan baru, yaitu huruf Arab dan huruf Latin, yang lebih praktis dan universal. Pengaruh Kristen: Misionaris Kristen, terutama dari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) yang datang pada abad ke-19, memperkenalkan huruf Latin untuk menyebarkan ajaran agama, menerjemahkan Alkitab, dan mendirikan sekolah. Karena huruf Latin dianggap lebih mudah dipelajari dan diakses, penggunaannya cepat meluas. Bahkan, Bahasa Batak Toba sering kali digunakan sebagai bahasa pengantar oleh misionaris, yang secara tidak langsung juga meminggirkan penggunaan Bahasa Simalungun dan aksaranya. Pengaruh Islam: Mirip dengan Kristen, penyebaran Islam juga membawa huruf Arab (Jawi), meskipun pengaruhnya di Simalungun tidak sebesar huruf Latin. Penggunaan huruf Arab lebih banyak ditemukan dalam konteks penulisan kitab-kitab agama dan dokumen-dokumen keagamaan lainnya.

Seiring waktu, penggunaan aksara Simalungun dalam kehidupan sehari-hari semakin berkurang. Aksara Latin menjadi standar penulisan untuk pendidikan, administrasi, dan media massa. Kondisi ini menyebabkan aksara Simalungun kini hanya digunakan dalam acara-acara adat, oleh para peneliti, dan oleh segelintir orang yang masih berupaya melestarikannya. Ini adalah salah satu alasan mengapa banyak upaya dilakukan saat ini untuk memperkenalkan kembali aksara ini kepada generasi muda agar tidak punah. Di masa lalu, fungsi aksara Simalungun tidak terbatas hanya pada komunikasi sehari-hari seperti menulis surat. Aksara ini memiliki peran yang jauh lebih luas dan mendalam, menjadi pilar penting dalam sistem sosial, keagamaan, dan intelektual masyarakat Simalungun. Aksara ini menjadi medium untuk mencatat dan mewariskan pengetahuan, hukum, dan kepercayaan dari generasi ke generasi.

 

Aksara Simalungun (Surat Simalungun) memegang peranan vital dalam konteks ritual dan spiritual. Aksara ini digunakan untuk menulis pustaha, atau kitab-kitab kuno yang terbuat dari kulit kayu atau bambu. Pustaha-pustaha ini bukan sekadar buku, melainkan artefak suci yang berisi mantra, formula pengobatan tradisional (dabu-dabu na mardua bagei), ramalan, serta ajaran spiritual. Para datu (dukun atau pemuka adat) menggunakan aksara ini untuk meramal masa depan, menyembuhkan penyakit, dan memimpin upacara-upacara keagamaan. Tanpa aksara ini, banyak ritual dan pengetahuan spiritual akan sulit dilestarikan, sehingga aksara ini menjadi kunci untuk menjaga keberlangsungan sistem kepercayaan tradisional.

Selain sebagai alat ritual, aksara Simalungun juga berfungsi sebagai instrumen penting dalam hukum adat (patik ni uhum). Di masa lalu, hukum tidak hanya dihafal, tetapi juga dicatat dalam naskah-naskah kuno. Aksara ini digunakan untuk menuliskan silsilah raja-raja (tarombo ni harajaan), perjanjian antarkampung atau antarkerajaan, dan berbagai aturan adat yang mengatur kehidupan sosial masyarakat. Dengan demikian, aksara ini menjadi bukti tertulis yang sah dan mengikat, digunakan untuk menyelesaikan perselisihan, mengesahkan pernikahan, dan menetapkan hak waris. Catatan-catatan ini memastikan bahwa hukum dan tatanan sosial dapat dijalankan secara konsisten dan adil.

Struktur Dasar Aksara Simalungun adalah Huruf Induk (Ina Ni Surat): Pengenalan 19 huruf dasar yang membentuk aksara ini. Tanda Vokal (Anak Ni Surat): Bagaimana mengubah bunyi vokal (a, i, u, e, o) dengan menggunakan tanda di atas, di bawah, atau di samping huruf induk. Tanda Khusus: Ada beberapa tanda khusus yang digunakan untuk bunyi tertentu, misalnya untuk bunyi konsonan rangkap atau untuk mematikan vokal.

Praktik Menulis dan Membaca, Metode Penulisan: Cara menulis setiap huruf dan tanda dengan benar. Latihan Membaca: Membaca teks-teks pendek, seperti nama-nama, kalimat sederhana, atau puisi dalam aksara Simalungun. Kalimat dan Sastra: Menganalisis bagaimana aksara ini digunakan dalam kalimat yang lebih kompleks atau dalam karya sastra tradisional Simalungun

Aksara Simalungun juga merupakan medium utama untuk mengekspresikan sastra dan seni. Aksara ini digunakan untuk menuliskan berbagai karya sastra lisan yang kemudian dibukukan, seperti pantun, pepatah (umpama), dan cerita rakyat (tarsingot). Melalui aksara ini, nilai-nilai, kebijaksanaan, dan sejarah masyarakat Simalungun diabadikan. Aksara ini juga sering diukir pada berbagai benda budaya, seperti rumah adat (bolon), alat musik tradisional, dan perhiasan, berfungsi sebagai ornamen dekoratif sekaligus simbol yang kaya makna. Kehadiran aksara pada benda-benda ini menunjukkan bahwa aksara Simalungun adalah bagian yang tak terpisahkan dari identitas dan warisan budaya Simalungun. Secara keseluruhan, aksara Simalungun jauh lebih dari sekadar alat tulis. Ia adalah cermin dari peradaban masa lalu yang kompleks, berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan masa lalu, sekarang, dan masa depan, memastikan bahwa warisan intelektual dan spiritual masyarakat Simalungun tetap hidup dan relevan.

Mempelajari Aksara Simalungun adalah sebuah keharusan, seperti halnya nasi yang wajib dimakan orang Simalungun. Jika anak-anak tidak mempelajarinya di sekolah, bagaimana mereka bisa membaca "SMS" dari opung (kakek/nenek) yang ditulis dalam aksara Simalungun? Tentu tidak mungkin opung mengirim pesan dengan emoji, karena emoji belum ditemukan di zaman mereka. Setiap anak Simalungun wajib mempelajari aksara ini di sekolah, baik itu tulisan maupun ucapan. Ini bukan hanya soal melestarikan budaya, tetapi juga soal menjaga tradisi budaya. Bayangkan, jika suatu hari ada perlombaan menulis surat cinta dengan aksara Simalungun. Pasti akan lebih puitis daripada tulisan "Aku padamu" dengan huruf Latin. Lagipula, bagaimana nanti mereka akan mengisi teka-teki silang aksara Simalungun di koran hari Minggu? Atau yang lebih penting, bagaimana mereka akan membaca "kode rahasia" warisan leluhur yang mungkin tersembunyi di balik ukiran-ukiran rumah adat? Belajar aksara Simalungun adalah investasi masa depan, siapa tahu mereka bisa menemukan harta karun tersembunyi berkat kemampuan membaca aksara kuno ini. Jadi, mari kita dukung program ini, agar generasi muda Simalungun tidak hanya pandai membuat status di media sosial, tetapi juga fasih menuliskan "Horas!" dengan aksara yang tepat

Habonaron do Bona ( Kebenaran adalah Pangkalnya )

Horas Hubanta Haganupan.

Horas ...Horas ... Horas

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun