Tahun ajaran baru selalu datang membawa harapan. Anak-anak kembali ke sekolah, guru menyusun strategi pembelajaran, dan orang tua menanti kemajuan belajar anaknya. Namun, ada satu tantangan yang semakin mendesak untuk dijawab: kemampuan murid memilah informasi di tengah banjir konten digital yang kian tak terbendung. Hoaks, konten manipulatif, dan perilaku digital yang belum etis menjadi bagian dari keseharian anak-anak kita hari ini. Sayangnya, belum semua sekolah siap membekali murid untuk menghadapinya.
Murid tidak hanya belajar dari buku atau guru, tetapi juga dari unggahan TikTok, video YouTube, tangkapan layar di WhatsApp, atau komentar di media sosial. Situasi ini berdampak langsung pada anak-anak dan remaja yang aktif bermedia sejak usia dini tanpa dibekali kemampuan mendeteksi kebenaran informasi. Setidaknya 30% sampai hampir 60% orang Indonesia terpapar hoaks saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya. Sementara hanya 21% sampai 36% saja yang mampu mengenali hoaks. (www.djkn.kemenkeu.go.id)
Sebagian sekolah mulai memperkenalkan pendidikan deteksi hoaks secara sederhana, misalnya melalui diskusi kelas, tugas menelusuri sumber berita, atau pembelajaran lintas tema menggunakan isu-isu viral. Upaya ini didukung oleh berbagai pelatihan seperti program Literasi Digital Nasional 2024 dari Kementerian Komunikasi dan Informatika yang mendorong sekolah melibatkan murid secara aktif dalam mengenali hoaks dan verifikasi fakta. Selain itu, organisasi masyarakat seperti MAFINDO secara rutin menggelar kelas edukatif tentang hoaks dan cara mendeteksinya, bahkan membuat modul khusus untuk pelajar dan guru (Laporan Tahunan MAFINDO, 2022).
Tak hanya hoaks, kemampuan menganalisis konten kini juga menjadi kompetensi penting. Pendidikan kita dihadapkan pada tantangan literasi digital. Masih banyak murid mengalami kesulitan memahami struktur pesan, tujuan narasi, dan implikasi dari konten yang mereka temui. Mereka cenderung menyukai dan menyebarkan tanpa terlebih dulu membaca secara utuh. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan teknologi tidak selalu dibarengi dengan kemampuan berpikir kritis.
Sejumlah sekolah mulai menggunakan konten populer sebagai alat pembelajaran, bukan sekadar tontonan, melainkan bahan diskusi. Misalnya, guru Bahasa Indonesia menggunakan video pendek sebagai bahan menelaah struktur teks opini, atau guru Pendidikan Pancasila membahas nilai-nilai Pancasila dalam konten sosial media yang viral. Proses ini tidak hanya melatih murid membaca media, tetapi juga mengajak mereka untuk memproduksi konten dengan sudut pandang etis dan bertanggung jawab.
Etika digital menjadi lapisan penting dari literasi media yang sering kali terabaikan. Pelanggaran etika, seperti menyebarkan informasi pribadi orang lain tanpa izin, menyebarkan komentar bernada kebencian, dan mengunggah ulang konten tanpa menyebut sumber, masih marak dilakukan oleh pelajar dan remaja pengguna internet di Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan etika digital perlu disisipkan ke dalam kegiatan belajar mengajar, bukan sebagai pelajaran terpisah, tetapi sebagai nilai yang ditanamkan secara kontekstual melalui praktik sehari-hari.
Berbagai inisiatif dari kementerian, komunitas guru, dan masyarakat sipil sudah menunjukkan arah yang menjanjikan untuk pendidikan literasi digital. Melalui Keputusan Kepala BSKAP NOMOR 032/H/KR/2024 secara eksplisit sekolah didorong menyelenggarakan kegiatan literasi media secara tematik dan berbasis proyek agar lebih relevan dengan kebutuhan zaman. Terkait etika digital dalam peraturan tersebut tampak pada bagian karakteristik Capaian Pembelajaran Muatan Keterampilan Konten Kreator. Disebut di dalamnya bahwa kegiatan murid di bidang digital tetap memperhatikan UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), HAKI (Hak Kekayaan Intelektual), dan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja).
Pendidikan literasi digital bukan tentang mencurigai semua informasi yang kita terima, tetapi tentang membentuk sikap kritis, tanggung jawab sosial, dan kepekaan terhadap dampak informasi. Anak-anak yang bisa mengenali hoaks, menganalisis konten dengan jernih, dan menjaga perilaku digitalnya, akan tumbuh menjadi pembelajar yang mandiri sekaligus warga digital yang beretika.
Tahun ajaran baru adalah waktu yang tepat untuk menyelaraskan ulang arah pendidikan kita. Selain akademik, anak-anak kita membutuhkan bekal hidup yang sesuai dengan zamannya. Di dunia di mana satu unggahan bisa memengaruhi ribuan pikiran, kemampuan membaca informasi dan menjaga integritas digital menjadi bagian dari kecakapan hidup yang tak bisa ditunda.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI