Mohon tunggu...
Thisisasror
Thisisasror Mohon Tunggu... Nelayan - Am a Moslem

Buwun Mas,Lombok-Nusa Tenggara Barat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sekotong dan Feodalisme

16 Juli 2020   15:59 Diperbarui: 16 Juli 2020   15:57 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
getepic.com (dengan editing oleh penulis)

Dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, proses demokrasi terhambat oleh tradisi feodalisme dari masa pra kemerdekaan. Nilai-nilai feodaslisme ini sangat bertolak belakang dengan prinsip demokrasi yang bertumpu pada persamaan. persamaan merupakan nilai yang fundamental dalam demokrasi, tak ada yang lebih hebat, lebih berkuasa, dan berbuat semaunya karan dihadapan hukum, politik, demokrasi kita sama pada prinsipnya. Dalam masyarakat modern yang menjunjung tinggi demokrasi tentu saja nilai-nilai kesetaraan, persamaan, dan kebebasan yang menjadi makna lain dari demokrasi, telah menutup ruang bagi timbulnya niali-niali feodalistik ini. Tapi ternyata tidak, bahkan masih banyak, termasuk di Sekotong. Begitu juga dengan semangat yang terkandung dalam falsafah bangsa Indonesia, Pancasila. Nilai ini tentu terkandung dalam sila ke-2, kesejahteraan yang adil dan beradab dan sila ke-5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sangat tidak tepat jika tradisi feodalisme masih bergentayangan di Negara Demokrasi termasuk Indonesai dan wabil khusus Sekotong. Kita bisa meraba kebelakang sejenak agar mampu menalar satu perkara dengan rasionalitas, dengan begitu kita mampu membangun asumsi yang sama terhadap buruknya tradisi feodalisme ini, baca buku lah sekali-kali atau paling tidak baca di google, banyak kan ? 

SEKOTONG DAN NEO FEODALISME  

Untuk apa kita hidup dibarisan perjuangan, jika kita sendiri sudah mengalami kematian. Saya ingin kembali soal jiwa karena ini yang paling penting, sebab kalok tidak ada Jiwa/roh maka kita manusia akan mati, lunglai dia. Demikianlah sebenarnya hidup ini diatur begitu bahwa kita selalu dihidupkan oleh sesuatu yang tidak nampak, oleh sesuatu yang ada di dalam. Oleh karena itu kita harus selalu meyakinkan diri kita sendiri bahwa kita masih punya jiwa dan masih memegang roh dari pada perjuangan, sehingga kita akan tetap berdiri di kaki kita sendiri, mempunyai jiwa egaliter, bebas bersuara, bertindak sesuai dengan akal dan hati nurani kita sendiri.  

Saya tidak ingin mati dengan sia-sia, dengan hidup yang dikukungi, menikmati hidup dalam keterpenjaraan, dan diperbudak maka oleh karena itu melawan otoritas Feodal di sekitar kita (Sekotong) adalah bagian dari perjuangan, sehingga jika mati pun kita tidak berlarut-larut dalam penyesalan karna anugrah tuhan " kebebasan" tidak kita perjuangkan dan gunakan secara baik dan benar.

Menurut saya itu yang penting diluar dari Nostalgia dan cerita masa lalu yang kita terima hanya dari bibir-bibir orang tua kita, meskipun nostalgia ada relevansinya tapi yang terpenting kita mesti melihat masa depan. Sudah lewat sahabat, kini kita harus bergejolak, mencari solusi dalam setiap persoalan, jangan hanya diam dan tutup mulut hanya karna lembaran berwarna, sebab terlalu hina jika kita melakukan hal yang demikian itu, lebih-lebih karna nyaman kedudukan sehingga takut disingirkan.

Mesti kita garis bawahi bersama, Sekotong dengan talenta dan potensi dimilik sangat sulit berkembang karna lagi-lagi masih maraknya fikiran feodal khususnya bagi yang diakui memiliki otoritas oleh memori dan kesepakatan kolektif kita yang masih bersarang, meskipun secara ilmiah belum diketahui kebenarannya. Ini yang harus diperbaiki dengan seksama dan memerlukan tempo yang cukup lama, karna jangan-jangan memori kolektif yang sudah diutarakan di atas sebenarnya sudah kita lupakan dan sudah hilang dari akal fikiran, namun karna rasa takut yang membayang-bayangi serta masih memikirkan apa yang akan dimakan, sehingga kita beranjak mundur perlahan dari keinginan yang sebetulnya ingin kita pertunjukkan.

Sekotong itu penuh dengan intrik, membacanya perlu waktu lama apalagi bagi pemula seperti saya. Feodalisme yang menjalar di seokotong tidak lepas dari buruknya pemilik otoritas yang penuh dengan intrik juga (bisa siapa saja).  Wajar jika dalam catatan hanya dikenal dalam satu sektor saja, yakni Pariwista setahu saya, itupun tidak seberapa daya saingnya rendah dan masih di bawah rata-rata, wong fikiran feodal masih diidapnya. sering kali saya analogikan sekotong sebagai pecahan surga dalam bayang-bayang fikiran (berimajinasi), sebab gunung-gunung nya, lautnya dan yang lainnya, kecuali manusianya (Minoritas).

Sangat disayangkan memang feodalisme yang menjalar susah dilawan dan ditaklukkan, ternyata benar teori perang dalam buku " The Art of War Sun Tzu ", bahwa minoritas bisa mengalahkan mayoritas jika yang dipegang kepalanya (Diracuni akal dan fikirannya).  Murni sekali saya katakan, tanpa kebebasan bagimanapun sebuah peradaban akan dibangun tidak akan pernah tercapai, ia akan hanya menjadi angan-angan semata. Sumber masa depan kita tidak lain dan tidak bukan hanyalah kebebasan. 

Terlalu naif jika katakan bahwa kita hanya tinggal menunggu waktu, waktu lah yang akan menghancurkan atau akan merujuk pada adagium " Setiap masa ada penguasa, dan setiap penguasa ada masanya. Lalu bagimana jika fikiran feodal yang menjalar tak terobati, tentu putarannya akan tetap sama dan stuk di situ saja tak berubah sedikitpun sebab yang berkuasa sama fikirannnya dan yang berbuah hanyalah waktu saja. Jadi, sudahi lah ketakutan yang masih membayangi diri kita, mari keluar dari jerat tali-tali fedoal lalu kita bisa bersama membangun peradaban yang lebih baik, yang tua tentu mengajarkan yang muda, membimbing, mengarahkan begitupun sebaliknya karna hidup ini normal. "

Manusia itu mengikuti curva normalnya, ada yang mulia minoritas, ada yang brengsek, bangsat, bajingan juga minoritas dan normal rata-rata.  Sehingga dalam kehidupan yang normal ini tentu kenormalan hidup tentu harus kita sama-sama perjuangkan salah satunya dengan menumpas feodalisme ini. Sebetulnya ada dua elemen tempat dimana fikiran feodal ini nyandak yakni sosiopolitk (sosial politik).  Menurut Ben Anderson, Seorang Indonesianis, ia melihat tradisi sosila dan politik ialah mempersiakan putra-putri  mereka dalam menggantiikan posisi mereka merupakan cerminan feodalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun