Dia adalah cinta pertamaku, sosok yang menurutku sederhana, yang mampu meluluhkan hatiku saat itu.
Kalau liburan sekolah, mama selalu mengajak kita untuk liburan di Palembang. Di sinilah aku mengenal dan akhirnya mencintainya, namun karena jarak memisahkan kita hanya bisa bertemu melalui lembaran surat.Â
Kata orang tua dahulu itu cinta monyet. Namanya juga remaja yang belum punya kemantapan, masih di area permainan, mencari jati diri.
Duduk di kelas dua smp, permainan di mulai. Kata sahabatku. Petualangan Cinta di mulai, Â tapi jangan disamakan dengan petualang cinta di jaman sekarang.Â
Kata sahabat, aku punya banyak kelebihan tapi menurut aku biasa saja, apa sih yang bisa di tonjolkan anak seusia smp yang ibaratkan telor itu belum menetas. belum ada apa apanyaÂ
Kalau dibedakan dengan anak jaman sekarang jauh sekali perbedaannya, kalau dulu  sudah duduk di bangku sma aja masih di bilang culun klau sekarang masih sd aja sudah kelihatan dewasanya.
Kembali ke cerita asal. Karena sudah sepakat bersama sahabat, kita taruhan siapa yang berhasil jadikan orang itu pacar, ditraktir makan bakso mang Midi yang di sekitar Bundaran Dwi Tunggal Curup.Â
Secara rada tomboy dan suka puisi, bagiku tak begitu sukar untuk melihat mereka menyukaiku atau tidak. Tulis puisi lalu berikan kepada yang dituju, kalau dia suka alamat ke ujung lancar, begitu pula sebaliknya.
Waktu itu kita taksir kakak kelas, ternyata dewi fortuna berpihak padaku, belum ada sela untuk mengadakan pendekatan, nggak tahunya kakak kelas lebih dulu menyatakan sukanya. Singkat cerita aku yang menang.
Pacaran hanya sebatas sekolah. Pulang bareng di setiap kesempatan, tidak ada acara malam mingguan atau jalan jalan di hari minggu. Benar benar bertemu di hari  sekolah.
Mana ada yang mau pacaran hanya sebatas sekolah, gelagat tak nyaman tercium akhirnya aku  putuskan tanpa mengutarakan alasan yang tepat.