Nenekku pernah bercerita, kalau dulu urusan keuangan keluarga sederhana saja. Gaji kakek yang seorang ASN cukup untuk makan, bayar ongkos sekolah anak, dan sedikit ditabung untuk lebaran nanti merupakan suatu hal yang dianggap sebagai keberkahan dan keberhasilan.
Tidak ada kesibukkan mengatur keuangan menggunakan spreadsheet, mengkalkulasi pakai aplikasi keuangan bahkan sampai pakai jasa  konsultan keuangan.Â
Pad zaman dulu cukup simpel saja, semua uang aman disimpan di bawah bantal, atau di kaleng biskuit Khong Guan yang isinya bukan lagi kue.
Keluarga jaman dulu percaya bahwa asal hidup hemat, rezeki tak akan ke mana. Slogan banyak anak, banyak rezeki memang betul adanya.
Tak ada istilah "passive income" tapi Alhamdulillah ada saja tetangga yang selalu siap membantu saat  keadaan darurat.
Sekarang, mengapa segalanya terasa lebih repot ya?
Keluarga muda jaman nenekku tidak ada itu pakai istilah financial freedom, dana darurat, portfolio investasi, bahkan side hustle (istilah apalagi tuh hahaa).
Tanpa disadari (termasuk saya tentunya) bekerja dari pagi ke malam bukan sekadar cari makan, tapi juga untuk mengejar target yang entah siapa yang telah menerapkan (tuh bingung kaan? ).
Memang sih, satu sisi menggunakan aplikasi keuangan semua jadi lebih terencana.
Uang bisa diatur dengan baik, investasi bisa dimulai dari Rp10.000.. Etapi di sisi lain, ada yang hilang, yaitu "ketenangan". Seperti mimpi buruk, kiita dihantui rasa takut tertinggal, takut tak cukup kaya untuk menyekolahkan anak., takut tua tanpa pensiun.