Nah, begitulah cinta dalam kehidupan rumah tangga. Ia menjadi salah satu alasan untuk menyeduh kopi. Tapi rencana keuangan keluarga adalah alasan untuk terus menerus mengisi cangkir kopi. Sebab tanpa rencana keuangan keluarga yang matang, cinta bisa menguap. Persis seperti kopi yang dibiarkan terlalu lama di udara terbuka.
Arga duduk di seberang. Rambutnya agak berantakan, tapi matanya sudah fokus menatap spreadsheet di laptopnya. Angka-angka keuangan keluarga berderet seperti barisan pasukan yang sedang menunggu komandonya.
Obrolan pagi itu mengalir begitu saja. Namun di balik itu ada arus pembicaraan yang sangat serius. Mereka sedang memikirkan cicilan rumah, tabungan pendidikan untuk anak yang belum lahir, dan dana darurat kalau suatu hari badai kehidupan datang.
"Kita mulai dari dana darurat dulu ya," kata Arga serius. Jarinya mengetik cepat di laptop. "Anggarannya minimal enam kali pengeluaran bulanan."
"Terus tabungan pensiun bagaimana ?" tanya Lila. "Biar nanti kita bisa duduk tenang di teras rumah saat pensiun tiba, sambil minum kopi, tanpa pusing mikirin uang."
Hening sebentar. Dari luar terdengar suara tukang sayur lewat.Â
Waktu terus berputarÂ
Dan mereka sadar, bahwa mereka harus berjalan bersama waktu. Bukan tertinggal oleh waktu.Â
Arga menatap Lila, lalu berkata, "Cinta itu memang alasan kita memulai berumah tangga. Tapi rencana keuangan yang baik, bikin kita bertahan di jalur yang tepat."
Lila memandang cangkirnya. Kopi yang tadinya panas kini mulai dingin. Namun ia tak keberatan. Ia tahu, pahit manis kehidupan rumah tangganya sama seperti kopi ini. Kadang terlalu pekat. Kadang terlalu hambar. Tapi selama mereka menyeduhnya bersama, rasa apa pun akan lebih mudah diterima.
Dan pagi itu, Â mereka bukan cuma meminum kopi. Mereka sedang menyeduh masa depan. Satu tegukan, satu rencana, satu senyum pada satu waktu.(*)
