Oleh :
Aslamuddin  Lasawedy CFP
Perencana Keuangan Independen
HIDUP itu seperti kopi. Tak pernah menawarkan rasa yang sama di setiap tegukannya. Ada hari ketika manisnya terasa mengalir lembut. Membuat kita lupa pada pahitnya yang pernah ada. Ada pula hari ketika pahitnya begitu pekat, yang memaksa kita menelannya dengan mata terpejam.
Pagi itu, uap kopi naik pelan-pelan, dari cangkir-cangkir keramik yang sudah mulai kusam. Lila duduk di meja ruang tengah, menatap warna hitam pekat didalam cangkir kopi di depannya. Di luar, matahari pagi baru saja keluar. Memercikkan cahaya tipis ke dinding rumahnya. Bau kopi memenuhi udara. Membaur dengan aroma roti panggang yang baru matang.
Arga dan Lila tahu, kopi pagi ini hanyalah secangkir dari ratusan cangkir yang akan mereka minum bersama. Di setiap seduhannya, mereka sedang menakar bukan hanya gulanya atau air panasnya. Pun keberanian untuk menghadapi masa depan.
Dan di antara aroma kopi dan deretan angka keuangan keluarga, mereka menemukan satu hal, bahwa kebahagiaan rumah tangga bukan soal menghindari pahitnya kehidupan keluarga. Melainkan belajar menikmatinya bersama.
"Dulu, waktu pertama kali kita pacaran," kata Lila sambil tersenyum tipis," kita nggak pernah mikir bakal ngomongin angka-angka keuangan keluarga begini."
Arga mengangkat wajahnya, dan ikut tersenyum. "Iya. Dulu obrolan kita cuma soal film, buku, sama siapa yang traktir."
Lila tertawa pelan, lalu menyesap kopinya. Rasa pahitnya langsung mengingatkan dia pada malam-malam  waktu mereka masih pacaran dahulu kala. Saat duduk berdua, menunggu hujan reda, sambil berbagi satu gelas kopi susu.Â
"Aku kadang mikir," ucap Lila, "cinta itu kayak kopi. Harumnya bikin kita jatuh cinta, tapi rasa pahitnya cuma bisa dinikmati kalau kita mau bertahan."
Arga mengaduk kopinya, meski dia jarang menambahkan gula. "Dan pernikahan kita itu kayak perencanaan keuangan keluarga. Kalau cuma nikmatin manisnya, nanti kaget pas saldo tabungannya mulai menipis."