DI SEBUAH pulau kecil nan tenang di Teluk Tomini, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah, tempat ombak berdzikir dalam napas angin, dimana pepohonan kelapa menari dalam irama langit, berdirilah sebuah masjid tua. Sebut saja namanya Masjid Jami. Ia bukan sekadar bangunan tempat sujud, Ia adalah mercusuar sejarah yang menancap di peradaban pulau Una-Una. Laksana bintang timur yang memandu bahtera rakyat di tengah samudra kolonialisme.Â
Di sanalah, pada suatu waktu yang dibalut kabut sejarah dan gaung semangat untuk merdeka dari penjajahan, Haji Oemar Said Cokroaminoto menapakkan kakinya di tahun 1910. Ia bukan hanya seorang pemimpin Sarekat Islam. Pun guru dari para pemikir revolusioner Nusantara-Soekarno, Kartosuwiryo, Semaoen-yang kelak mengguncang dunia. Namun di pulau terpencil ini, ia hadir bukan dengan pekik revolusi, melainkan dengan takbir dalam rangka peresmian rumah Tuhan. Namanya Masjid Jami.
Masjid sebagai Simbol Perlawanan Spiritual
Masjid Jami yang berada di desa Binanguna, pulau Una-Una ini, bukan sekadar rumah ibadah. Ia adalah manuskrip arsitektural yang ditulis dengan huruf-huruf yang penuh semangat. Dibangun di atas tanah yang merindukan keadilan. Diresmikan oleh lidah yang terbiasa mengucap kebenaran meski dikepung bahaya. Ketika Cokroaminoto meresmikannya, masjid ini menjelma menjadi simbol spiritual sekaligus politis, di tengah penindasan kolonial yang menyayat identitas bangsa. Masjid ini adalah oasis-tempat rakyat belajar tentang keesaan Tuhan dan pentingnya martabat manusia.
Jami dalam bahasa Arab berarti "yang mengumpulkan" atau "yang menghimpun."Ini juga merupakan salah satu dari Asmaul Husna, atau nama-nama baik Allah yang menggambarkan sifat-sifat-Nya, khususnya Al-Jami yang berarti "Maha Mengumpulkan".Â
Masjid Jami ini adalah milik semua. Namun terasa begitu personal bagi setiap hati yang pernah bersujud di lantainya. Ia seperti ruh kolektif masyarakat Una-Una yang mengikat mereka dalam tali spiritual, sosial, dan historis yang sama.
Kapiten Mohammad Daeng Materru: Penjaga Amanah Pulau Ringgit
Dalam riwayat pendirian masjid itu, sosok Kapiten Mohammad Daeng Materru hadir sebagai tiang penyangga sejarah. Ia bukan hanya pemimpin administratif, tetapi juga penjaga tradisi dan jembatan antara adat dan agama. Di tengah kerentanan zaman kolonial, Daeng Materru adalah pemilik kunci sosial-politik di pulau Ringgit, Una-Una. Dukungan dan perlindungannya terhadap pembangunan masjid menjadi bukti bahwa spiritualitas dan kepemimpinan lokal tidak harus berjalan sendiri-sendiri. Justru, dari sinilah masjid itu menjadi titik temu antara langit dan bumi. Antara suara rakyat dan harapan Tuhan.
Ayah Mohamad Daeng Materru ini berdarah Bugis Wajo. Namanya Haji Nandro, yang makamnya ada di belakang mesjid tua Samarinda Seberang. masjid Shirathal Mustaqiem, yang lahannya dihibahkan oleh haji Nandro. Ibu kandung Daeng Materi bernama Marendei berasal dari pulau Benteng di Togean. Saudara kandung Marendei ini bernama La Borahima.Â
Daeng Meterru menikah dengan Pengian (putri) dari Kesultanan Bulungan di Kalimantan Utara, bernama Dayang Renik, yang saudara kandungnya  bernama Datu Adam. Nama Datu Adam ini kemudian diabadikan jadi nama stadion di Tarakan
Pasangan ini memiliki empat anak. Satu laki-laki dan tiga perempuan. Masing-masing bernama ; Masmerah, Sambung, Siti Hajar, dan Siti Sukking. Putri bungsunya yang bernama Sitti Sukking, kemudian menikah dengan Zainuddin Lasahido. Salah satu putra pasangan ini bernama Galib Lasahido, yang pernah menjadi Gubernur Sulawesi Tengah periode 1981 hingga 1986.Â
Nah, sebutan Kapiten bagi Mohamad Daeng Materru ini, bukan hanya sekadar gelar. Ia adalah metafora dari matahari lokal yang memancar di balik bayang-bayang kekuasaan kolonial. Sehingga dalam keterbatasan geografis pulau Una-Una, yang kecil di peta tapi besar di makna, Daeng Materru membuktikan bahwa kepemimpinan bisa menjelma menjadi jubah kehormatan jika ia dikenakan dengan nilai, bukan ambisi. Una-una sendiri berasal dari bahasa Malaysia, yang berarti kelapa. Tak heran Pulau Una-una ini juga dikenal dengan sebutan Pulau Ringgit.Â
Masjid Jami Sebagai Semiotika dari Timur
Dibangun di pulau vulkanik yang dikelilingi karang, masjid ini seperti bunga yang tumbuh dari batu. Ia berdiri di tengah alam yang terus bergolak. Seperti hati manusia yang selalu mencari keseimbangan antara dunia dan akhirat. Dalam filosofi Timur, keseimbangan adalah jalan. Maka, masjid ini bukan hanya tempat memulai shalat, tetapi juga tempat memulai kebangkitan spiritual.
Semen dan batu batanya tidak sekadar material, tapi memori. Dinding-dindingnya menyimpan desah napas anak-anak yang belajar mengaji, gemuruh khutbah tentang keadilan, dan isak tangis doa para ibu yang berharap anak-anaknya kelak bebas dari belenggu penindasan. Di masjid ini menjadi tempat dimana ruang menjadi saksi, dan waktu menjadi penghafal sejarah.
Resonansi Masa Kini
Hari ini, Masjid Jami di Una-una mungkin tampak sederhana dibandingkan arsitektur megah kota-kota besar. Tapi justru dalam kesederhanaannya, kita mendengar gema zaman. Ia seperti puisi yang indah yang tak perlu dideklamasikan karena sudah terukir dalam benak sejarah. Setiap retakan dindingnya adalah jejak perjuangan. Setiap tiang kayunya adalah doa yang membumbung. Setiap malamnya adalah malam penuh berkah bagi mereka yang mengerti makna pencarian spiritual
Langit yang Tak Pernah Lupa
Ketika H.O.S. Cokroaminoto meninggalkan pulau itu, mungkin tak ada yang tahu bahwa jejak kakinya akan bertahan lebih lama dari batu nisan manapun. Saat Cokroaminoto meninggalkan pulau Una-Una, ia membawa serta sembilan anak muda Una-Una untuk disekolahkan di Yogyakarta. Salah satunya  bernama Mahmud Lamako Latjuba.Â
Karir politik Mahmud Lamako Latjuba ini  dibangun melalui partai Masyumi. Ia terpilih sebagai anggota KNIP dari Masyumi (1947). Lalu terpilih sebagai anggota DPR RI.Â
Kakek langsung dari artis kondang Sophia Latjuba ini,  ikut memperjuangkan asas ius soli dan stelsel pasif bagi kewarganegaraan RI, yaitu penentuan kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran seseorang. Ia juga pernah menjadi Dubes RI Karachi Pakistan, Dubes RI di Mesir. Dan menjadi  salah satu pendiri gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI)
Begitulah, cerita dibalik peresmian Masjid tua di Una-Una. Â Masjid Jami ini menjadi warisan senyap namun penuh legenda. Ia memberi pesan bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya soal politik, tapi juga membawa pesan spiritual. Bahwa pembebasan bukan hanya dari belenggu penjajahan. Pun juga berjuang untuk pembebasan dari belenggu kemiskinan dan ketidakadilan.
Masjid Jami di pulau Una-una ini, bukan hanya masa lalu. Ia adalah masa depan yang menunggu dibaca. Sebab dalam sejarahnya, kita tidak hanya menemukan catatan tentang batu dan semen, tetapi tentang manusia yang memilih untuk berdiri di antara gelap dan terang, demi menyuarakan kebenaran di ujung timur negeri ini.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI