Mohon tunggu...
Ashyfa Heryani
Ashyfa Heryani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Manajemen Pendidikan

Universitas Negeri Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pelanggaran UU ITE yang Perlu Diperhatikan

27 Oktober 2021   15:00 Diperbarui: 27 Oktober 2021   15:04 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : The Guardian Negroid

UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) menjadi peraturan penting yang perlu dipelajari pada saat ini karena dunia telah memasuki era revolusi industri 4.0 dimana hampir semua kegiatan dilakukan menggunakan teknologi atau mesin. Peraturan ini diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Melalui siaran pers Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) No. 87/HM/KOMINFO/12/2016 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 25 November 2016 menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

"Karena pada penerapannya terjadi dinamika pro dan kontra terhadap beberapa ketentuan di dalamnya, Pemerintah mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan minor yang dianggap perlu serta relevan," jelas Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Rudiantara usai disetujuinya revisi UU ITE untuk ditetapkan menjadi undang-undang melalui Sidang Paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/10).

Menggunakan internet terutama media sosial menjadi rutinitas harian setiap orang di Indonesia dalam melakukan aktifitas. Media sosial memiliki manfaat baik atau buruk, hal itu tergantung dari orang yang menggunakan media sosial tersebut. Media sosial yang luas dan tidak terbatas harus digunakan secara bijak oleh penggunanya, hal itu akan mempengaruhi media sosial akan berdampak baik atau buruk bagi penggunannya. Penggunaan media sosial juga harus tetap memperhatikan sopan santun seperti layaknya hidup di dunia nyata. Terkadang jari kita dapat menulis atau mengetik kata-kata yang mungkin bagi orang lain yang membacannya akan salah paham atau tersinggung.

Saat ini terdapat banyak kasus kejahatan di internet (cyber crime) terutama media sosial yang sangat merugikan orang lain. Menurut Kominfo, terdapat 800.000 situs penyebar hoax atau berita palsu yang tersebar di Indonesia. Hal ini tentunya dapat meresahkan para pengguna media sosial dalam memanfaatkan informasi dari media sosial. Penyebaran hoax melalui media sosial atau media komunikasi elektronik diatur dalam Pasal 45 A Ayat (1) UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pelanggar diancam pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah.

Selain penyebaran hoax, perundungan di media sosial (cyber bullying) dan pencemaran nama baik saat ini menjadi hal yang memprihatinkan di Indonesia. Pelaku cyber bullying rata-rata adalah remaja yang belum bijak menggunakan media sosial. Berdasarkan hasil riset Microsoft, pengguna internet Indonesia termasuk yang paling tidak sopan, Indonesia berada pada peringkat ke-29 dari 32 negara. Hal ini tentunya menjadi sebuah catatan bagi netizen Indonesia agar lebih bijak dalam menggunakan internet terutama media sosial. Pembatasan usia dalam penggunaan media sosial juga penting untuk menghindari konten yang tidak pantas bersebaran di media sosial pengguna yang masih dibawah umur.

Kasus pelanggaran UU ITE di Indonesia terus menigkat setiap tahunnya, korban dari para pelaku pelanggar UU ITE juga turut bertambah. Pada tahun 2020 korban kasus pelanggaran UU ITE meningkat dua kali lipat dari tahun 2019. Para pelanggar UU ITE tentunya dijerat dengan berbagai pasal yang berbeda pada tiap pelanggar. Peningkatan kasus ini salah satunya dipicu oleh pasal-pasal yang tidak memiliki tolak ukur yang jelas, oleh karena itu terkadang para netizen tidak sadar dalam menggunakan media sosial dan ternyata hal yang dilakukan tersebut termasuk ke dalam pelanggaran UU ITE.

Salah satu kasus pelanggaran UU ITE yang sempat mendapat perhatian adalah postingan Instagram milik Jerinx, drummer band Superman Is Dead (SID), dalam postingan tersebut dirinya menyampaikan pendapatnya tentang WHO (World Health Organization) yang dianggap sebagai 'kacung' IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Unggahan yang dibuat pada 13 Juni 2020 tersebut menuai pro dan kontra bagi masyarakat karena pada saat itu COVID-19 sedang diperhatikan oleh masyarakat dan pemerintah, pendapatnya dinilai menyudutkan IDI serta mencemarkan nama baik IDI. Tiga hari kemudian, Jerinx dilaporkan oleh ketua IDI Bali ke Polda Bali. Setelah laporan diproses, Jerinx dipanggil oleh Polda Bali sebagai saksi pada 6 Agustus 2020. Sidang pertama diselenggarakan pada tanggal 10 September 2020. Dalam sidang ini, Jerinx sempat menawarkan mediasi, namun ditolak oleh pihak IDI Bali.

Setelah diperiksa lebih lanjut, Jerinx ditetapkan sebagai tersangka kasus ujaran kebencian oleh Polda Bali. Jerinx didakwa atas Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 64 Ayat 1 KUHP serta dituntut tiga tahun penjara. Setelah mendapat tuntutan tiga tahun, Jerinx merasa tidak terima dan emosi atas tuntutannya. Majelis Hakim yang diketuai Ida Ayu Adnya Dewi menyatakan Jerinx bersalah. Jerinx dijatuhi hukuman satu tahun dua bulan dan denda Rp10juta.

Kasus Jerinx membuktikan bahwa kasus penghinaan dan pencemaran nama baik di Indonesia menjadi salah satu kasus yang paling sering dilanggar oleh netizen. Terkadang netizen salah dalam penyampaian ide atau pendapatnya yang secara tidak sadar menyinggung atau menghina pihak lain. Penggunaan media sosial sebagai wadah menyampaikan pendapat atau ide inilah yang harus disertai dengan hati-hati.

Kasus selajutnya dalam pelanggaran UU ITE adalah penyebaran hoax tentang vaksin COVID-19 yang dianggap berbahaya untuk kesehatan, hal ini tentunya menjadi penghambat bagi pemerintah Indonesia dalam penanggulangan kasus COVID-19 yang meningkat tiap hari. Kasus ini ramai diperbincangkan gara-gara salah satu postingan di Facebook pada 11 Juni 2021. Dalam postingan tersebut, disebutkan bahwa orang tersebut merasa daya tahan tubuhnya hilang setelah divaksin. Hal tersebut tentunya tidak benar dan menjadikan masyarakat ragu akan vaksin. Selain itu, terdapat berita yang beredar bahwa vaksin mengandung mikrocip magnetis. Hal tersebut disertai dengan video seseorang meletakkan koin uang Rp1.000 di lengan bekas suntikan vaksinasi COVID-19. Hasilnya koin menempel seakan membuktikan bahwa vaksin COVID-19 yang mengandung mikrocip magnetis adalah benar. Berita ini tentunya hoax karena vaksin berisi protein, garam, lipid, pelarut, dan tidak mengandung logam. Sebuah logam dapat menempel di permukaan kulit yang lembab biasanya disebabkan oleh keringat. Pecahan uang logam seribu rupiah terbuat dari bahan nikel dan bukan bahan yang bisa menempel karena daya magnet.

Apabila informasi tersebut dicerna mentah-mentah oleh masyarakat pastinya akan memberikan efek negatif untuk masyarakat dan tidak bersedia untuk vaksin. Penyebaran informasi hoax yang semakin marak justru menjadi lawan yang berat bagi pemerintah dalam penanganan COVID-19. Oleh karena itu, Kominfo akan memberikan sanksi dan denda bagi siapapun yang menyebarkan hoax mengenai COVID-19. Tindakan ini dilakukan karena melanggar UU ITE dan meresahkan masyarakat.  Para pelaku penyebar hoax diharapkan dapat jera setelah mendapatkan sanksi dan denda tersebut serta tidak mengulangi perbuatannya yang merugikan banyak orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun