Baca juga Bab 13 :
Ruang cupping itu tidak berubah. Lantai atas rumah menua tanpa bicara, menyimpan sisa embun panen yang tidak pernah dikemas. Bangku plastik biru pudar masih berdiri, tak angkuh, hanya lelah. Rak kayu miring sedikit ke selatan, seakan mengikuti arah waktu. Di sudut, gulungan kain goni bekas penyimpanan masih menyentuh dinding, merawat aroma yang tidak lagi diuji.
Raka melangkah pelan, bukan sebagai pemanen, tapi sebagai tubuh yang kembali ke ruang arsip hidupnya sendiri. Ia tak membawa cangkir, tak membawa hasil. Ia hanya membawa napas yang belum selesai. Sofa tua di sisi jendela menyimpan aroma linen pengemasan dari masa ketika Nadine pernah duduk di sana---bukan sebagai pemilik, tapi sebagai penjaga embun yang belum berani bicara.
Di bawah meja cupping, satu memo dari Jayagiri tergulung sebagian, ujungnya basah oleh embun. Tahun 1973 tertera di sudut, dengan catatan samar: "Aroma Jayagiri tidak cocok untuk ekspor. Terlalu jujur. Terlalu basah untuk dikeringkan." Memo itu tak pernah dikirim. Nadine menemukannya saat membersihkan rak dua bulan lalu dan menyelipkannya kembali tanpa suara. Raka tidak bertanya. Ia tahu memo yang diam lebih tulus daripada memo yang dicetak.
Satu cangkir kecil berwarna tanah, retaknya dulu terdengar saat panen pertama. Kini ia sudah direkatkan, entah oleh siapa. Nadine tak pernah menyebutnya. Tapi retakan itu tidak hilang---ia hanya berpindah ke dalam tubuh. Raka menyentuh permukaannya, tidak untuk meminum, tapi untuk mengingat suhu tubuhnya saat gagal diseduh sebagai aroma layak pasar.
Arsip tua dalam kotak kayu menyimpan daftar ekspor, cap pengeringan, dan satu surat dari seseorang bernama K.L. Ditulis dengan mesin ketik, bunyinya absurd tapi tajam: "Kami tidak bisa menerima kopi dari Jayagiri. Terlalu liar. Tidak bisa dikontrol suhu aromanya. Kami tidak mengolah rasa. Kami mengemas narasi." Surat itu bukan ditujukan kepadanya. Tapi tubuh Raka mengenalnya. Panen pertamanya dianggap "tidak stabil secara aroma"---padahal tubuhnya hanya belum bisa dijelaskan oleh mesin cupping.
Nadine menemukan arsip pembanding suhu aroma dari Ethiopia dan Indonesia. Catatannya menyarankan pelurusan aroma lokal lewat "bahasa pasar". Nadine melipat kertas itu pelan, seperti melipat luka yang tidak berdarah. Ia berkata, bukan kepada siapa pun: "Kopi dari gunung kita patah. Tapi mereka ingin retaknya terlihat eksotis. Itu bukan rasa. Itu konspirasi aroma yang menjadikan trauma sebagai profil rasa."
Di ruang itu, aroma tidak diuji. Mereka berembun. Mereka menetap. Raka membaca satu memo yang tidak pernah selesai ditulis. Di belakangnya, tercetak samar: "Jam aroma tidak bisa dipasarkan. Ia hanya bisa dikenang."Â
Ia tahu: panennya dulu tidak ditolak karena kualitas. Ia ditolak karena tubuhnya menulis waktu, bukan angka. Ia menyimpan jam aroma, tapi koperasi hanya menerima tanggal.