Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pamer sebagai Bentuk Ekspresi Dendam dan Luka Batin

6 Oktober 2025   10:17 Diperbarui: 6 Oktober 2025   10:17 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pamer Sebagai Menangis Diam-Diam: Luka di Balik Keinginan untuk Diakui

Kadang, orang yang paling sering memamerkan kekayaannya justru adalah orang yang paling dalam lukanya. Ia tidak sedang sombong, ia sedang berusaha menyembuhkan diri dengan cara yang dunia ajarkan: "Tunjukkan bahwa kamu sudah berhasil, agar tak ada lagi yang berani merendahkanmu."

Pendahuluan

Ketika seseorang memamerkan kekayaan dan kesuksesannya, sesungguhnya ia sedang berusaha mengobati luka batin yang lama, yaitu luka akibat penghinaan, kemiskinan, kebodohan, dan kesialan yang pernah menjeratnya. Luka itu menahun dan dalam, sebab tidak ada jalan instan menuju kejayaan. Setiap keberhasilan yang ia tunjukkan adalah balutan yang menutupi bekas luka, bukan bukti bahwa ia telah sembuh.

Dunia yang Digerakkan oleh Luka

Kita hidup di zaman ketika rasa sakit dan pencarian makna tidak lagi diungkapkan lewat doa, tapi lewat pamer.
Media sosial menjadikannya ritual harian: mobil baru, liburan ke luar negeri, rumah yang estetik, pakaian bermerek, tubuh ideal, pasangan sempurna - semua disusun rapi seperti etalase bahagia.

Namun di balik setiap unggahan yang tampak "wah", sering tersembunyi kisah panjang tentang rasa tidak dihargai.
Orang yang dulunya dipandang sebelah mata karena miskin, bodoh, atau gagal, kini menggunakan pencapaiannya untuk membuktikan bahwa dia pantas dihormati.
Sayangnya, dunia digital menafsirkan itu bukan sebagai perjuangan, tapi sebagai kesombongan.

Padahal, jika kita mau sedikit lebih sabar membaca konteks batinnya, kita akan menemukan sesuatu yang lebih dalam:
Pamer adalah bahasa luka.
Bahasa yang dipelajari manusia karena dunia jarang memberi ruang bagi tangisan yang lembut.

Luka yang Diubah Jadi Energi

Psikologi dan sejarah manusia sebenarnya setuju pada satu hal: manusia tak pernah benar-benar lepas dari rasa kurang.
Rasa itu bisa datang dari mana saja - kemiskinan, kegagalan, ejekan, atau kehilangan harga diri.
Dan luka semacam itu bisa menetap bertahun-tahun, membentuk kepribadian, bahkan arah hidup seseorang.

Nietzsche menyebutnya sebagai bentuk will to power - dorongan untuk mengatasi rasa hina, untuk bangkit dan menegaskan eksistensi.
Luka, bila diolah, bisa berubah menjadi bahan bakar.
Namun kalau luka itu tidak sembuh, maka energi itu akan meledak ke arah yang salah: menjadi ambisi yang ingin diakui, bukan dimengerti.

Kita mengenal banyak tokoh sukses yang kisahnya bermula dari penghinaan.
Anak miskin yang bertekad menjadi miliarder, siswa gagal yang jadi inovator, pekerja rendahan yang kini jadi bos.
Mereka menempuh jalan terjal karena pernah merasakan bagaimana rasanya diremehkan.
Dan di titik keberhasilan, mereka menatap cermin sambil berkata dalam hati,

"Lihat sekarang siapa aku."

Masalahnya bukan pada tekadnya, tapi pada rasa haus akan pengakuan yang sering tidak pernah benar-benar padam.
Ia seperti sumur tanpa dasar - berapapun validasi yang diberikan dunia, tetap terasa kurang.
Karena luka yang dulu terbentuk bukan fisik, melainkan eksistensial.

Media Sosial: Algoritma yang Menyukai Luka

Zaman dulu, simbol status seperti perhiasan, pakaian mahal, atau rumah besar hanya dilihat oleh tetangga atau kerabat.
Sekarang, satu unggahan bisa dilihat oleh ribuan orang.
Dan algoritma tahu persis bagaimana memainkan rasa sakit kita.

Platform digital bekerja dengan satu prinsip sederhana: semakin emosional kontennya, semakin tinggi keterlibatannya.
Ketika seseorang haus pengakuan, ia akan lebih sering mengunggah.
Dan setiap "like" yang ia terima memberi sedikit dopamin - rasa senang sementara yang cepat menguap.
Akhirnya, lahirlah siklus berulang: luka pamer pujian tenang sebentar butuh lagi luka baru.

Media sosial, tanpa kita sadari, telah menjadi terapi cepat tapi adiktif.
Ia tidak menyembuhkan luka, tapi menutupinya dengan glitter.
Dan yang lebih ironis, algoritma justru memperkuat perilaku itu karena pamer adalah konten paling menarik secara statistik.

Kita pun hidup dalam budaya yang memelihara luka --- karena dunia digital tidak ingin kita sembuh.
Selama kita masih merasa "kurang", kita akan terus berinteraksi, terus membeli, terus mengunggah.
Sistem ini tak dirancang untuk kedamaian, tapi untuk keterlibatan.
Dan manusia, sekali lagi, menjadi bahan bakarnya.

Pamer, Kesombongan, dan Rasa Takut Ditolak

Mari kita ubah cara pandang: pamer bukan sekadar ekspresi sombong, melainkan mekanisme bertahan hidup sosial.
Dalam masyarakat yang menilai nilai diri dari pencapaian, manusia belajar sejak dini bahwa agar dihargai, ia harus "terlihat berhasil."

Maka ketika seseorang menunjukkan mobil barunya atau postingan tentang liburannya, yang ia cari bukan rasa iri dari orang lain, tapi rasa aman di dalam dirinya sendiri.
Ia ingin yakin bahwa kini ia sudah "layak" untuk tidak diremehkan lagi.

Freud menyebut mekanisme ini sebagai kompensasi ego - cara alam bawah sadar menutupi perasaan rendah diri dengan menampilkan hal yang berlawanan.
Kierkegaard, dengan cara yang lebih eksistensial, menyebutnya sebagai bentuk keputusasaan menjadi diri sendiri.
Kita menolak versi diri yang dulu dianggap gagal, lalu menciptakan topeng kesuksesan agar dunia mau melihat kita.
Tapi topeng itu menempel terlalu lama, hingga kita lupa siapa yang sebenarnya sedang kita sembunyikan.

Dari Penghakiman ke Pemahaman

Masalah terbesar dalam budaya digital bukan pada orang yang pamer, tapi pada penonton yang cepat menilai.
Kita melihat unggahan seseorang, lalu langsung menyimpulkan: "Sombong." "Flexing." "Bikin iri."
Padahal, kita tidak tahu cerita di balik layar - mungkin unggahan itu adalah satu-satunya cara dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa hidupnya tidak sia-sia.

Melihat orang pamer seharusnya bukan alasan untuk membenci, tapi undangan untuk memahami.
Karena setiap manusia membawa trauma yang berbeda, dan setiap luka mencari cara unik untuk bicara.
Ada yang menulis, ada yang diam, ada yang memamerkan.
Semua sedang berjuang dengan caranya masing-masing.

Dan kadang, empati berarti tidak ikut dalam permainan perbandingan itu.
Tidak menyaingi, tidak menertawakan, tidak menilai - hanya mengerti.
Seperti melihat anak kecil yang menunjukkan mainan barunya bukan karena sombong, tapi karena ingin diterima.

Menyembuhkan Luka Kolektif

Pamer hanyalah gejala dari luka yang lebih besar - luka kolektif manusia modern.
Kita hidup di sistem ekonomi dan budaya yang menanamkan rasa "tidak cukup" sebagai bahan bakar kemajuan.
Setiap hari kita diserang oleh iklan dan citra bahwa kebahagiaan bisa dibeli, status bisa diukur, dan cinta bisa diraih lewat prestasi.
Maka wajar jika manusia terus mencari validasi; mereka sedang menuruti logika dunia yang membesarkannya.

Namun, seperti kata Harari, "Homo sapiens tidak hanya makhluk yang berpikir, tapi makhluk yang percaya."
Dan saat ini, kepercayaan terbesar manusia bukan lagi pada Tuhan, tapi pada pengakuan sosial.

Jika dulu orang berdoa agar diterima oleh Yang Maha Kuasa, kini orang berdoa agar diterima oleh algoritma.
"Like" adalah "amin" versi digital.

Untuk memutus siklus ini, kita perlu mengubah paradigma dari pamer untuk diterima menjadi berbagi untuk terhubung.
Karena di balik semua citra, yang sebenarnya kita cari bukan kekaguman, tapi keterikatan yang tulus.

Penutup: Melihat Pamer Sebagai Cermin Diri

Mungkin lain kali, ketika kita melihat seseorang pamer harta, pencapaian, atau kebahagiaan, jangan buru-buru menghakimi.
Lihatlah sedikit lebih dalam --- mungkin itu bukan kesombongan, tapi permohonan halus untuk diakui.
Karena setiap manusia, tak peduli seberapa kuatnya ia tampak, hanya ingin satu hal: merasa cukup.

Dan mungkin, kalau kita bisa berhenti menilai dan mulai memahami, dunia ini akan sedikit lebih lembut.
Kita tak perlu ikut-ikutan pamer untuk membuktikan diri, tak perlu membandingkan luka, tak perlu berlomba dalam kesempurnaan semu.

Karena pada akhirnya, kita semua sedang menulis kisah yang sama ---
kisah tentang manusia yang mencoba menutupi air mata dengan cahaya.

Epilog

Pamer bukan dosa. Ia hanyalah gejala zaman.
Zaman di mana nilai diri diukur dengan tampilan, bukan ketenangan.
Tapi jika kita cukup sadar untuk melihat di balik gemerlapnya, kita akan tahu:
kekayaan sejati bukan tentang berapa banyak yang bisa kita tunjukkan,
tapi seberapa tenang kita saat tidak perlu menunjukkan apa-apa.

Mungkin yang benar-benar kaya bukan mereka yang punya segalanya,
melainkan mereka yang sudah tidak perlu membuktikan apa-apa lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun