Freud menyebut mekanisme ini sebagai kompensasi ego - cara alam bawah sadar menutupi perasaan rendah diri dengan menampilkan hal yang berlawanan.
Kierkegaard, dengan cara yang lebih eksistensial, menyebutnya sebagai bentuk keputusasaan menjadi diri sendiri.
Kita menolak versi diri yang dulu dianggap gagal, lalu menciptakan topeng kesuksesan agar dunia mau melihat kita.
Tapi topeng itu menempel terlalu lama, hingga kita lupa siapa yang sebenarnya sedang kita sembunyikan.
Dari Penghakiman ke Pemahaman
Masalah terbesar dalam budaya digital bukan pada orang yang pamer, tapi pada penonton yang cepat menilai.
Kita melihat unggahan seseorang, lalu langsung menyimpulkan: "Sombong." "Flexing." "Bikin iri."
Padahal, kita tidak tahu cerita di balik layar - mungkin unggahan itu adalah satu-satunya cara dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa hidupnya tidak sia-sia.
Melihat orang pamer seharusnya bukan alasan untuk membenci, tapi undangan untuk memahami.
Karena setiap manusia membawa trauma yang berbeda, dan setiap luka mencari cara unik untuk bicara.
Ada yang menulis, ada yang diam, ada yang memamerkan.
Semua sedang berjuang dengan caranya masing-masing.
Dan kadang, empati berarti tidak ikut dalam permainan perbandingan itu.
Tidak menyaingi, tidak menertawakan, tidak menilai - hanya mengerti.
Seperti melihat anak kecil yang menunjukkan mainan barunya bukan karena sombong, tapi karena ingin diterima.
Menyembuhkan Luka Kolektif
Pamer hanyalah gejala dari luka yang lebih besar - luka kolektif manusia modern.
Kita hidup di sistem ekonomi dan budaya yang menanamkan rasa "tidak cukup" sebagai bahan bakar kemajuan.
Setiap hari kita diserang oleh iklan dan citra bahwa kebahagiaan bisa dibeli, status bisa diukur, dan cinta bisa diraih lewat prestasi.
Maka wajar jika manusia terus mencari validasi; mereka sedang menuruti logika dunia yang membesarkannya.
Namun, seperti kata Harari, "Homo sapiens tidak hanya makhluk yang berpikir, tapi makhluk yang percaya."
Dan saat ini, kepercayaan terbesar manusia bukan lagi pada Tuhan, tapi pada pengakuan sosial.
Jika dulu orang berdoa agar diterima oleh Yang Maha Kuasa, kini orang berdoa agar diterima oleh algoritma.
"Like" adalah "amin" versi digital.
Untuk memutus siklus ini, kita perlu mengubah paradigma dari pamer untuk diterima menjadi berbagi untuk terhubung.
Karena di balik semua citra, yang sebenarnya kita cari bukan kekaguman, tapi keterikatan yang tulus.
Penutup: Melihat Pamer Sebagai Cermin Diri