Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pamer sebagai Bentuk Ekspresi Dendam dan Luka Batin

6 Oktober 2025   10:17 Diperbarui: 6 Oktober 2025   10:17 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Freud menyebut mekanisme ini sebagai kompensasi ego - cara alam bawah sadar menutupi perasaan rendah diri dengan menampilkan hal yang berlawanan.
Kierkegaard, dengan cara yang lebih eksistensial, menyebutnya sebagai bentuk keputusasaan menjadi diri sendiri.
Kita menolak versi diri yang dulu dianggap gagal, lalu menciptakan topeng kesuksesan agar dunia mau melihat kita.
Tapi topeng itu menempel terlalu lama, hingga kita lupa siapa yang sebenarnya sedang kita sembunyikan.

Dari Penghakiman ke Pemahaman

Masalah terbesar dalam budaya digital bukan pada orang yang pamer, tapi pada penonton yang cepat menilai.
Kita melihat unggahan seseorang, lalu langsung menyimpulkan: "Sombong." "Flexing." "Bikin iri."
Padahal, kita tidak tahu cerita di balik layar - mungkin unggahan itu adalah satu-satunya cara dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa hidupnya tidak sia-sia.

Melihat orang pamer seharusnya bukan alasan untuk membenci, tapi undangan untuk memahami.
Karena setiap manusia membawa trauma yang berbeda, dan setiap luka mencari cara unik untuk bicara.
Ada yang menulis, ada yang diam, ada yang memamerkan.
Semua sedang berjuang dengan caranya masing-masing.

Dan kadang, empati berarti tidak ikut dalam permainan perbandingan itu.
Tidak menyaingi, tidak menertawakan, tidak menilai - hanya mengerti.
Seperti melihat anak kecil yang menunjukkan mainan barunya bukan karena sombong, tapi karena ingin diterima.

Menyembuhkan Luka Kolektif

Pamer hanyalah gejala dari luka yang lebih besar - luka kolektif manusia modern.
Kita hidup di sistem ekonomi dan budaya yang menanamkan rasa "tidak cukup" sebagai bahan bakar kemajuan.
Setiap hari kita diserang oleh iklan dan citra bahwa kebahagiaan bisa dibeli, status bisa diukur, dan cinta bisa diraih lewat prestasi.
Maka wajar jika manusia terus mencari validasi; mereka sedang menuruti logika dunia yang membesarkannya.

Namun, seperti kata Harari, "Homo sapiens tidak hanya makhluk yang berpikir, tapi makhluk yang percaya."
Dan saat ini, kepercayaan terbesar manusia bukan lagi pada Tuhan, tapi pada pengakuan sosial.

Jika dulu orang berdoa agar diterima oleh Yang Maha Kuasa, kini orang berdoa agar diterima oleh algoritma.
"Like" adalah "amin" versi digital.

Untuk memutus siklus ini, kita perlu mengubah paradigma dari pamer untuk diterima menjadi berbagi untuk terhubung.
Karena di balik semua citra, yang sebenarnya kita cari bukan kekaguman, tapi keterikatan yang tulus.

Penutup: Melihat Pamer Sebagai Cermin Diri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun