Kita mengenal banyak tokoh sukses yang kisahnya bermula dari penghinaan.
Anak miskin yang bertekad menjadi miliarder, siswa gagal yang jadi inovator, pekerja rendahan yang kini jadi bos.
Mereka menempuh jalan terjal karena pernah merasakan bagaimana rasanya diremehkan.
Dan di titik keberhasilan, mereka menatap cermin sambil berkata dalam hati,
"Lihat sekarang siapa aku."
Masalahnya bukan pada tekadnya, tapi pada rasa haus akan pengakuan yang sering tidak pernah benar-benar padam.
Ia seperti sumur tanpa dasar - berapapun validasi yang diberikan dunia, tetap terasa kurang.
Karena luka yang dulu terbentuk bukan fisik, melainkan eksistensial.
Media Sosial: Algoritma yang Menyukai Luka
Zaman dulu, simbol status seperti perhiasan, pakaian mahal, atau rumah besar hanya dilihat oleh tetangga atau kerabat.
Sekarang, satu unggahan bisa dilihat oleh ribuan orang.
Dan algoritma tahu persis bagaimana memainkan rasa sakit kita.
Platform digital bekerja dengan satu prinsip sederhana: semakin emosional kontennya, semakin tinggi keterlibatannya.
Ketika seseorang haus pengakuan, ia akan lebih sering mengunggah.
Dan setiap "like" yang ia terima memberi sedikit dopamin - rasa senang sementara yang cepat menguap.
Akhirnya, lahirlah siklus berulang: luka pamer pujian tenang sebentar butuh lagi luka baru.
Media sosial, tanpa kita sadari, telah menjadi terapi cepat tapi adiktif.
Ia tidak menyembuhkan luka, tapi menutupinya dengan glitter.
Dan yang lebih ironis, algoritma justru memperkuat perilaku itu karena pamer adalah konten paling menarik secara statistik.
Kita pun hidup dalam budaya yang memelihara luka --- karena dunia digital tidak ingin kita sembuh.
Selama kita masih merasa "kurang", kita akan terus berinteraksi, terus membeli, terus mengunggah.
Sistem ini tak dirancang untuk kedamaian, tapi untuk keterlibatan.
Dan manusia, sekali lagi, menjadi bahan bakarnya.
Pamer, Kesombongan, dan Rasa Takut Ditolak
Mari kita ubah cara pandang: pamer bukan sekadar ekspresi sombong, melainkan mekanisme bertahan hidup sosial.
Dalam masyarakat yang menilai nilai diri dari pencapaian, manusia belajar sejak dini bahwa agar dihargai, ia harus "terlihat berhasil."
Maka ketika seseorang menunjukkan mobil barunya atau postingan tentang liburannya, yang ia cari bukan rasa iri dari orang lain, tapi rasa aman di dalam dirinya sendiri.
Ia ingin yakin bahwa kini ia sudah "layak" untuk tidak diremehkan lagi.