Dengan demikian, kekuatan naratif berbasis lokal, meskipun memiliki daya tarik besar di fase awal, tidak cukup untuk menembus gelanggang nasional tanpa rekonstruksi visi dan penyelarasan dengan isu-isu strategis. Jalan bagi Dedi Mulyadi ke panggung nasional bukan ditutup, tetapi ia harus menapakinya dengan pemahaman baru: bahwa kedekatan dengan rakyat hanyalah awal dari kepemimpinan, bukan substansi akhirnya. Untuk menjadi pemimpin nasional, ia harus membuktikan bahwa ia mampu melihat jauh ke depan, menyusun sistem, dan menghubungkan kepedulian lokal dengan arsitektur kebijakan nasional dan global.
IV. Pelajaran dari Transformasi Jokowi
Ketika Joko Widodo memulai karier politiknya sebagai Wali Kota Solo pada 2005, sedikit yang membayangkan bahwa ia akan menjadi Presiden Republik Indonesia dua periode dan membentuk ulang arah pembangunan nasional. Namun dalam dua dekade terakhir, Jokowi membuktikan bahwa populisme berbasis kedekatan dengan rakyat dapat ditransformasikan menjadi kekuatan negara, asalkan dibingkai dalam visi kebangsaan yang luas dan dijalankan dengan konsistensi teknokratik. Di sinilah pelajaran penting bagi figur seperti Dedi Mulyadi: bahwa narasi lokal yang kuat adalah fondasi, tetapi bukan tujuan akhir.
1. Narasi Akar Rumput yang Dibingkai dengan Simbolisme Nasional
Jokowi memulai dari hal-hal kecil: penataan PKL, pembangunan taman kota, dialog langsung dengan warga. Sama seperti Dedi yang menyapa rakyat lewat becak dan sawah, Jokowi juga membentuk hubungan emosional dan simbolik yang akrab dan membumi. Namun sejak menjabat Gubernur DKI Jakarta, ia mulai membingkai ulang narasi lokal itu dalam visi pembangunan: MRT, sistem satu harga BBM, dan kemudian hilirisasi industri nikel, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), serta transformasi digital dan infrastruktur dasar.
Menurut Laclau (2005) dalam On Populist Reason, populisme menjadi kekuatan transformatif hanya ketika ia mampu menciptakan rantai ekivalensi antara tuntutan-tuntutan lokal dan struktur kekuasaan nasional. Jokowi melakukannya dengan memindahkan pusat makna politik dari elite ke rakyat, namun tidak menolak sistem, melainkan merasukinya dan mereformasinya dari dalam. Ini yang belum tampak jelas dalam narasi Dedi Mulyadi, sejauh ini ia masih di fase melihat rakyat, tapi belum menyusun sistem atas nama rakyat.
2. Perpaduan Populisme dan Visi Pembangunan Nasional
Jokowi tidak hanya bicara infrastruktur, ia membangunnya. Ia tidak hanya menyinggung birokrasi, ia mereformasinya. Ia tidak hanya hadir di pasar tradisional, tetapi juga di forum G20 dan World Economic Forum. Dengan gaya yang sederhana dan sering diremehkan, Jokowi menunjukkan kemampuan untuk menjembatani bahasa rakyat dengan kompleksitas teknokratik. Ia menjadikan blusukan bukan sekadar simbol empati, tetapi alat pengawasan langsung atas kebijakan.
Dalam kajian technopopulism (Bickerton & Invernizzi Accetti, 2021), pemimpin seperti Jokowi memadukan dua kekuatan yang jarang bersatu: keterhubungan emosional dengan publik dan kemampuan administratif untuk mewujudkan kebijakan besar. Ini menjadikannya bukan sekadar populis, tetapi "populis efektif", yakni pemimpin yang tak hanya disukai, tetapi juga mampu menggerakkan sistem negara.
Dedi, yang hingga kini kuat dalam dimensi simbolik dan relasi emosional, bisa belajar dari Jokowi untuk menambahkan dua pilar: agenda nasional yang konkret dan kemampuan menavigasi sistem kekuasaan yang kompleks. Tanpa ini, ia akan tetap menjadi "pemimpin yang disukai", tapi belum tentu "pemimpin yang dipilih untuk memimpin bangsa".
3. Strategi Eskalasi Politik: Dari Daerah ke Nasional