Sebesar apa pun daya tarik Dedi Mulyadi di ranah lokal dan digital, realitas politik nasional menghadirkan medan yang berbeda: lebih kompleks, lebih terstruktur, dan jauh lebih brutal dalam kontestasi gagasan. Narasi-narasi humanis berbasis budaya yang memikat di tingkat provinsi atau kabupaten bisa kehilangan daya cengkeram ketika dibenturkan dengan isu-isu besar seperti transisi energi, otomatisasi industri, revolusi kecerdasan buatan, geopolitik kawasan, dan ancaman perubahan iklim global. Ini adalah medan yang menuntut bukan hanya empati dan kedekatan, tetapi kapasitas struktural dan daya pikir strategis.
1. Isu Lokal dan Tantangan Relevansi dalam Politik Makro
Dedi Mulyadi, dengan pendekatan hiperlokal dan budaya Sunda, saat ini lebih sering membahas masalah warisan keluarga, jalan rusak, hingga budaya gotong royong di desa. Meskipun itu penting sebagai fondasi moral sosial, tantangan nasional menuntut lebih. Misalnya, Indonesia tengah menghadapi dilema besar: apakah akan menjadi user atau innovator dalam ekosistem kecerdasan buatan global? Pada tahun 2023, laporan McKinsey menyebut bahwa AI berpotensi meningkatkan PDB Indonesia hingga 366 miliar USD pada 2030, tetapi hanya jika ekosistemnya dibangun dari sekarang, mencakup pendidikan, investasi, dan kebijakan industrialisasi digital.
Begitu pula dalam isu energi, Indonesia berada di tengah transisi dari batu bara ke energi terbarukan. Namun, ketergantungan fiskal daerah-daerah penghasil batu bara, termasuk sebagian wilayah di Jawa Barat dan Sumatera, memperumit transisi ini. Tanpa pemahaman struktural atas bauran energi, mekanisme subsidi silang, dan geopolitik energi internasional, pemimpin nasional tidak akan mampu mengambil keputusan strategis yang berani.
Dalam konteks ini, pendekatan politik ala Dedi, yang sangat bottom-up dan berbasis pengalaman langsung, menghadapi keterbatasan dalam menjawab tantangan top-down yang bersifat sistemik dan transnasional. Politik nasional adalah arena di mana kemampuan menyusun strategi makro, memproyeksikan arah pembangunan, serta membangun koalisi antar sektor dan negara menjadi kebutuhan mutlak.
2. Risiko Terjebak dalam Segmentasi Etnoregional
Daya tarik budaya lokal yang menjadi kekuatan Dedi Mulyadi justru dapat menjadi jebakan bila tidak ditransformasikan ke dalam narasi kebangsaan. Dalam konteks politik Indonesia yang multietnis, terlalu menonjolkan identitas etnis atau kedaerahan, betapapun simpatiknya, Â berisiko menimbulkan segmentasi elektoral. Hal ini ditegaskan oleh Liddle dan Mujani (2007) dalam studi klasik mereka, bahwa politik etnoregional hanya efektif dalam basis terbatas dan cenderung gagal menciptakan jembatan elektoral lintas suku dan agama jika tidak dikemas dalam identitas kebangsaan yang inklusif.
Dedi, yang secara visual dan verbal sangat lekat dengan simbol budaya Sunda, perlu merefleksikan bagaimana narasi itu dapat di-scale up menjadi semangat nasional: bukan "urang Sunda" melawan Jakarta, tetapi "urang nusantara" yang menjadikan kearifan lokal sebagai bagian dari solusi nasional. Tanpa itu, dia bisa mengalami glass ceiling elektoral --- kekuatan besar yang mentok di batas etnoregional, sebagaimana dialami banyak kepala daerah lain dari Sumatera, Kalimantan, atau Sulawesi yang gagal menasionalisasi basis dukungannya.
3. Tuntutan Publik terhadap Kapasitas Struktural
Publik Indonesia pasca-2024 bukan hanya menuntut figur yang mengerti penderitaan rakyat, tetapi juga punya kapasitas untuk membenahi sistem yang membuat rakyat terus menderita. Menurut survei LSI Denny JA (Februari 2024), sebanyak 62,1% responden menginginkan pemimpin yang memiliki "visi jangka panjang dan mengerti struktur kebijakan nasional", sementara hanya 24,7% yang lebih memilih pemimpin yang "dekat dengan rakyat namun belum teruji di level sistem."
Ini menunjukkan bahwa populisme sentimental, yang mengandalkan narasi kedekatan emosional, semakin diuji efektivitasnya di hadapan rakyat yang kian rasional dan terdigitalisasi. Platform media sosial yang semula menjadi ladang kesuksesan populis seperti Dedi, juga kini menjadi ruang perbandingan kapasitas: publik bisa menonton presentasi Ganjar Pranowo tentang geopolitik pangan di Davos, sekaligus menyaksikan Dedi membagi-bagikan sembako. Pilihan publik bisa berubah drastis ketika kebutuhan bukan lagi hanya dirasa, tapi harus dijawab dengan kebijakan struktural.