Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Politik

Strategi Transformasi Dedi Mulyadi Menuju Kepemimpinan Populis Berbasis Isu Nasional

14 Mei 2025   14:23 Diperbarui: 14 Mei 2025   14:23 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari Kuda Sunda ke Kuda Besi Nasional: Strategi Transformasi Dedi Mulyadi Menuju Kepemimpinan Populis Berbasis Isu Nasional

Abstrak

Dedi Mulyadi dikenal sebagai figur publik yang memadukan budaya Sunda dan pendekatan populis dalam membangun citra politiknya. Citra "Gubernur Konten" yang merakyat dan peka terhadap keluhan warga menjadikannya populer di ranah lokal Jawa Barat. Namun, untuk menjangkau panggung politik nasional, strategi populisme berbasis budaya lokal perlu ditransformasikan menjadi narasi kebangsaan yang lebih relevan secara struktural. Artikel ini mengulas kekuatan dan batasan Dedi Mulyadi sebagai aktor politik lokal, lalu menelaah keberhasilan Jokowi dalam mentransisikan populisme merakyat ke tingkat nasional melalui narasi infrastruktur dan industrialisasi. Terakhir, artikel ini mengusulkan empat strategi utama agar Dedi mampu memperluas jangkauan politiknya: reframing konten populis ke isu strategis nasional, membangun koalisi gagasan teknokratik, menggunakan simbolisasi budaya untuk isu kebangsaan, dan menjadikan pengalaman mikro sebagai laboratorium solusi makro.

I. Pendahuluan

Dalam lanskap politik kontemporer Indonesia, munculnya figur-figur politik dengan pendekatan komunikasi yang berbasis media sosial menandai pergeseran besar dalam strategi kepemimpinan publik. Salah satu tokoh yang menonjol dalam gelombang ini adalah Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat terpilih tahun 2024, yang kerap dijuluki sebagai "Gubernur Konten". Julukan ini tidak lahir tanpa alasan: Dedi dikenal luas karena konsistensinya dalam membagikan narasi visual dan naratif yang menyentuh sisi humanis rakyat kecil, dari kunjungan ke desa-desa, memediasi konflik warisan keluarga, hingga mengangkat kearifan lokal Sunda dalam konteks keseharian. Dengan pendekatan hyperlocal populism berbasis budaya, ia membangun digital intimacy dengan publik, melampaui sekadar kampanye formal.

Fenomena ini dapat dibaca dalam kerangka teori populisme performatif, seperti dijelaskan oleh Benjamin Moffitt (2016), yang menyatakan bahwa "populism is not just a worldview, but a political style that performs crisis, breakdown, and closeness to the people." Dalam konteks Dedi, gaya performatif ini dipraktikkan melalui konten yang menyentuh krisis sehari-hari rakyat , dari kemiskinan, ketidakadilan sosial, hingga ironi birokrasi, lalu membingkainya dalam tindakan nyata yang ditayangkan secara real-time. Namun, seperti yang juga diperingatkan Moffitt, gaya ini dapat terjebak dalam bentuk-bentuk lokalitas yang tidak cukup kuat menghadapi isu-isu nasional yang bersifat struktural dan kompleks.

Dengan kata lain, populisme berbasis kultural seperti yang diperlihatkan oleh Dedi Mulyadi memiliki kekuatan besar dalam membangun kedekatan, namun belum tentu cukup untuk menghadirkan visi nasional yang kohesif dan sistemik. Dalam konteks Indonesia pasca-2024 yang memasuki babak baru disrupsi teknologi, mulai dari integrasi kecerdasan buatan (AI), komputasi kuantum, hingga potensi fusi nuklir dalam bauran energi, pemimpin nasional dituntut tidak hanya menghibur dan menginspirasi, tetapi juga mampu mengartikulasikan narasi kebijakan berbasis transformasi strategis. Tantangan ini memerlukan lompatan dari politik rasa menuju politik struktur.

Dedi Mulyadi, yang telah menaklukkan panggung Jawa Barat, kini berada pada persimpangan antara kenyamanan popularitas lokal dan peluang kebangsaan. Sejarah Indonesia modern memberikan preseden menarik: Joko Widodo, yang pada 2005 hanya dikenal sebagai wali kota Solo, mampu melampaui batas-batas geografis dan etnografisnya. Melalui narasi "blusukan" yang dirangkai dengan agenda besar seperti pembangunan infrastruktur dan hilirisasi industri, Jokowi menjadi simbol transformasi populisme merakyat menjadi kepemimpinan nasional berbasis modernisasi. Seperti dikatakan Burhanuddin Muhtadi dalam "Populisme, Politik Identitas, dan Demokrasi di Indonesia" (2020), "populisme yang berhasil naik ke level nasional adalah populisme yang bisa merangkul elite kebijakan, bukan sekadar memainkan sentimen publik."

Dalam konteks inilah tulisan ini mengambil posisinya: memberikan saran strategis dan konseptual agar Dedi Mulyadi mampu mentransformasikan dirinya dari simbol lokal yang kuat menjadi aktor nasional yang relevan. Dengan mengintegrasikan narasi budaya Sunda dalam spektrum isu-isu strategis seperti ketahanan pangan, transisi energi hijau, dan teknologi pertanian berbasis AI, Dedi memiliki peluang bukan hanya untuk memperluas cakupan elektoralnya, tetapi juga untuk menghadirkan gaya kepemimpinan populis progresif yang dibutuhkan Indonesia ke depan.

II. Potensi Populis Lokal: Kekuatan Dedi Mulyadi Saat Ini

Di tengah gejolak politik nasional yang kerap didominasi narasi teknokratik atau polarisasi identitas, kehadiran figur seperti Dedi Mulyadi menawarkan warna alternatif: politik yang hangat, menyentuh, dan akrab dengan denyut kehidupan sehari-hari masyarakat. Di Jawa Barat, ia bukan sekadar politisi, tetapi semacam dalang digital yang memadukan cerita rakyat, aksi sosial, dan simbol budaya Sunda ke dalam konten yang menjangkau jutaan orang --- baik secara visual maupun emosional. Ini adalah bentuk populisme khas lokal yang kuat secara simbolik dan operasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun