Joget Velocity dan Hipnosis Digital: Ketika Hiburan Menyusup ke Otak dan Mengendalikan Kesadaran
Setiap hari, jutaan orang menyaksikan tarian cepat dan ritmis di TikTok dan YouTube Shorts tanpa sadar mengalami apa yang oleh para neurosaintis sebut sebagai state of trance ringan. Apa yang tampak seperti hiburan lucu dan viral ternyata membawa dampak mendalam terhadap otak manusia, terutama pada anak muda.Â
Di balik irama yang memikat dan gerakan tubuh yang disinkronkan, tersembunyi kekuatan algoritma, psikologi kognitif, dan ekonomi atensi yang merancang pengalaman digital layaknya hipnosis massal.Â
Apakah kita sedang ditidurkan secara kolektif oleh kecepatan musik dan konten viral?
I. Pembuka: Tertawa, Menari, Tapi Otak Kita Diambil Alih
Di layar kecil itu, sepasang kaki menari cepat mengikuti irama yang berdenyut kencang. Gerakan-gerakan tubuh seolah diprogram oleh mesin: cepat, ritmis, sinkron, dan addictive.Â
Satu video selesai, satu lagi muncul. Tanpa sadar, Anda sudah menghabiskan 40 menit menyaksikan ratusan video joget velocity. Tawa terlepas, tubuh mungkin ikut bergoyang---tapi pernahkah Anda bertanya, siapa yang sebenarnya sedang bergerak: tubuh Anda, atau kesadaran Anda?
Fenomena joget velocity bukan sekadar tren konyol remaja TikTok. Ia adalah bentuk mutakhir dari hiburan yang menyusup ke saraf pusat.Â
Dirancang dengan cermat untuk memikat perhatian, video-video ini menggabungkan irama repetitif, visual intens, dan koreografi sinkron---formula sempurna untuk memicu respons saraf yang tidak sepenuhnya disadari.
Kasus ekstrem pernah terjadi pada Susan Root, seorang wanita asal Essex, Inggris. Ia mengalami kondisi langka yang disebut musical hallucinosis: lagu "How Much Is That Doggie in the Window?" yang dinyanyikan Patti Page pada tahun 1952 berputar di kepalanya selama empat tahun penuh, tanpa henti.Â
Lagu itu menggerogoti ruang mentalnya, mengusik tidur, dan mengacaukan hidupnya. Ia bukan sekadar "terngiang-ngiang"---ia terperangkap dalam loop kognitif yang tak bisa ia kendalikan.
Mungkin kasus Susan terdengar ekstrem, tapi skala mikro dari gejala serupa sedang menjangkiti jutaan otak setiap hari, melalui gelombang konten yang tak pernah berhenti: TikTok, YouTube Shorts, dan Reels.Â
Semua bekerja dengan prinsip yang sama: mengulang, menstimulasi, dan menanamkan ritme tertentu ke dalam memori jangka pendek---bahkan kadang jangka panjang.
Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar "Mengapa kita suka menonton konten semacam ini?"
Melainkan:
Apa yang sebenarnya terjadi di otak kita saat kita disuguhi konten seperti ini? Apakah kita masih menjadi penonton... ataukah tanpa sadar telah menjadi objek yang sedang diprogram ulang?
II. Musik, Otak, dan Fenomena Trance: Sains di Balik "Joget"
Ketika irama cepat dan repetitif masuk ke telinga kita, ia tak hanya memicu ketukan jari atau goyangan bahu. Ia memasuki jalur limbik otak, menyentuh pusat emosi, dan mulai membajak sistem reward. Inilah mekanisme biologis di balik keasyikan menonton---dan bahkan menirukan---joget velocity.
Menurut Dr. Victoria Williamson, peneliti musik dan kognisi dari University of Sheffield, fenomena lagu yang "terjebak di kepala" dikenal sebagai involuntary musical imagery (INMI) atau lebih populernya, earworm.Â
Dalam risetnya, Williamson menyebut bahwa earworm adalah bentuk ringan dari "gangguan persepsi spontan" yang dipicu oleh pengulangan musikal yang memiliki pola ritme sederhana namun menancap kuat di memori kerja. Musik semacam ini membajak sistem kesadaran tanpa izin.
Statistik menguatkan ini: Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Journal of Psychology of Music tahun 2016 menunjukkan bahwa 92% responden mengaku pernah mengalami lagu yang terus berputar di kepala mereka selama berjam-jam, bahkan berhari-hari, tanpa mereka kehendaki. Dalam kondisi tertentu, ini menyebabkan penurunan fokus, gangguan tidur, bahkan kecemasan ringan.
Secara neurologis, ketika musik berulang masuk ke telinga, sistem limbik (khususnya amygdala dan hippocampus) teraktivasi. Musik merangsang pelepasan dopamin, zat kimia yang menciptakan rasa senang dan ketagihan.Â
Jika dopamin ini dilepaskan berulang, maka sistem saraf mulai membangun jalur baru---neuroplastisitas terbentuk. Dalam kata lain, musik itu mulai membuat "jalan pintas" di otak Anda.
Kini tambahkan visual cepat, gerakan sinkron, dan algoritma yang menyodorkan konten serupa setiap beberapa detik: inilah bentuk trance ringan yang tak terasa seperti hipnosis, tapi bekerja dengan prinsip yang sama.Â
Fenomena ini disebut juga dengan sensorik overload, ketika otak dibanjiri informasi ritmis dan visual secara simultan sehingga kesadaran kritis meluruh perlahan, digantikan oleh refleks dan kebiasaan otomatis.
Kita mungkin berpikir kita hanya sedang menonton untuk hiburan. Tapi dari sisi neurologis, kita sedang terpapar stimulan yang secara aktif membentuk ulang jaringan saraf, dan dalam jangka panjang---mengubah cara kita memproses dunia.
Joget velocity bukan sekadar konten viral. Ia adalah instrumen psikoaktif.
Dan kita meneguknya setiap hari, sambil tertawa... dan pelan-pelan kehilangan kontrol.
III. Dari Joget ke Hipnosis Digital: Induksi yang Tidak Kita Sadari
"Hipnosis bukanlah tentang kehilangan kesadaran, melainkan tentang fokus ekstrem terhadap satu hal sambil mengabaikan yang lain."
 --- Milton H. Erickson, bapak hipnosis modern
Di era analog, hipnosis membutuhkan tatapan mata, ayunan bandul, atau suara monoton. Di era digital, yang dibutuhkan hanyalah satu scroll---dan Anda masuk ke dalamnya tanpa sadar. Inilah bentuk baru dari hypnotic induction, dan joget velocity adalah salah satu instrumen halus tapi efektifnya.
Apa Itu Hypnotic Induction?
Dalam teori klasik hipnosis Milton Erickson, hypnotic induction adalah proses pelan tapi pasti yang menggeser perhatian sadar seseorang ke kondisi reseptif bawah sadar. Mekanisme ini bekerja melalui ritual pengulangan, pengalihan kognitif, dan penciptaan ritme yang mendistraksi otak rasional.
Dalam konteks digital, konten dengan gerakan cepat, transisi kilat, dan irama tinggi BPM (beats per minute) memaksa otak untuk mengikuti ritme eksternal secara refleks.Â
Otak manusia, yang berevolusi untuk menangkap pola dan menyinkronkan gerakan terhadap stimulus berulang, masuk ke dalam mode otomatis. Semakin sering diulang, semakin dalam sugesti bekerja.
Konten Velocity = Sugestif + Agresif
Konten velocity---khususnya jenis joget cepat dengan loop chorus yang diulang-ulang, visual flashy, dan cut-scene per detik yang tinggi---adalah bentuk mutakhir dari suggestive trigger. Ia memanfaatkan mekanisme entrainment (penyesuaian otomatis otak terhadap irama luar) untuk memasukkan pesan dan pola tanpa perlawanan sadar.
Jika dalam propaganda militer klasik terdapat teknik pembiasaan visual lewat mars dan warna dominan, dan dalam iklan subliminal ada penyisipan gambar sesaat untuk mempengaruhi bawah sadar, maka joget velocity adalah gabungan keduanya, hanya dalam bentuk yang lebih halus, lebih lucu, dan lebih sulit ditolak.
Contoh Serangan Sensori Mikro Tapi Masif
Mari lihat anatomi satu video velocity TikTok berdurasi 15 detik:
- Backsound dengan tempo 160--180 BPM --- otak dipaksa berpacu dan kehilangan ruang untuk refleksi.
- Lighting kontras tinggi dan transisi abrupt --- menciptakan mini seizure efek di otak visual.
- Looping chorus --- memanfaatkan earworm effect, memaksa otak mengulang meski video sudah selesai.
- Gerakan cepat, sinkron, dan ekspresif --- memicu mirror neurons, membuat tubuh ingin ikut meniru.
- Fast cut setiap 1--2 detik --- menciptakan fragmentasi atensi, otak tak punya waktu untuk berpikir kritis.
Ini adalah serangan multi-kanal terhadap sistem kognitif dan atensi manusia, namun dikemas dalam bungkusan manis, lucu, dan terlihat tidak berbahaya. Tapi justru karena itu, efeknya jauh lebih mengendap.
Kita tidak sedang menonton joget. Kita sedang menyerahkan kendali bawah sadar pada sistem desain konten yang memahami cara kerja otak kita lebih baik dari kita sendiri.
IV. Arsitek Viralitas: Siapa yang Merancang Joget Velocity?
Di balik layar yang hanya memperlihatkan sekelebat tubuh menari dan audio catchy, tersembunyi arsitek konten yang sangat sadar akan cara kerja pikiran manusia dan algoritma mesin secara bersamaan. Mereka bukan sekadar kreator. Mereka adalah insinyur atensi, dan joget velocity adalah produk rekayasa kognitif mereka.
Profil Kognitif: Kreatif, Algoritmis, dan Manipulatif
Para pencipta tren joget velocity umumnya memiliki kecerdasan majemuk:
Musikal: Mereka tahu struktur irama yang bisa membuat dopamine meledak.
Spasial dan kinestetik: Mereka tahu koreografi apa yang cocok dengan tiap beat.
Kognitif-algoritmis: Mereka mengerti "bahasa" algoritma TikTok dan YouTube Shorts---berapa durasi ideal, kapan transisi harus terjadi, kapan hook visual dimunculkan.
Psikologis: Mereka tahu kapan membuat pemirsa tertawa, terpukau, atau terjebak.
Ini adalah interseksi antara seni, psikologi, dan sains data, dan mereka menguasainya dengan luwes. Kontennya tampak spontan, tapi tiap detik sebenarnya penuh perhitungan.
Motivasi Internal: Monetisasi, Validasi Sosial, dan Manipulasi Atensi
Tiga motif utama mendasari aktivitas para arsitek ini:
Monetisasi: Platform seperti TikTok, YouTube Shorts, atau Reels membayar berdasarkan watch time dan engagement. Semakin cepat konten viral, semakin besar peluang muncul di beranda, dan semakin besar pula peluang disponsori.
Validasi Sosial: Like, view, dan comment adalah mata uang sosial yang adiktif. Fenomena ini bukan lagi sekadar narsisme; ini adalah ketergantungan neurokimia terhadap pujian digital.
Manipulasi Atensi: Semakin lama pengguna tertahan, semakin besar peluang sang kreator mendulang pengaruh dan kekuasaan sosial digital---entah itu berupa follower, endorsement, atau posisi dominan dalam algoritma rekomendasi.
Mereka sadar: atensi adalah sumber daya yang langka dan paling berharga di era ini. Maka yang mereka lakukan bukanlah mencipta seni, tapi mengambil paksa waktu kognitif kolektif manusia dan menjualnya ke pasar terbuka.
Adiction Loop dan Desain Platform
Menurut Tristan Harris, mantan desainer etika Google dan pendiri Center for Humane Technology, platform media sosial dirancang seperti mesin slot digital:
Scroll Stimulus menarik Dopamin
Video habis Langsung disambut oleh video baru yang lebih menggoda
Ketika perhatian mulai turun algoritma menyuntikkan konten "lebih cepat, lebih kuat, lebih absurd"
Joget velocity adalah senjata optimal dalam sistem adiksi ini. Ia bekerja cepat, memberi kepuasan instan, dan membuat otak ingin lebih.
Statistik menunjukkan:
Rata-rata pengguna TikTok membuka aplikasi 19x sehari (Datareportal, 2023).
Durasi perhatian manusia kini hanya sekitar 8 detik, lebih rendah dari ikan mas (Microsoft Study, 2015).
70% video TikTok yang viral berdurasi <20 detik dan melibatkan musik repetitif serta visual cepat (TikTok Creative Center, 2024).
Kita bukan hanya sedang mengonsumsi hiburan---kita sedang dikondisikan secara sistematis untuk tidak bisa berhenti mengonsumsinya.
Kapitalisme Digital: Konten Menjadi Komoditas Atensi
Dalam kerangka kapitalisme digital, manusia tidak lagi menjadi pengguna, melainkan produk yang diperjualbelikan. Konten seperti joget velocity bukan tujuan, melainkan alat untuk menangkap dan menambang waktu serta fokus manusia.
Setiap detik yang kita habiskan untuk menonton "video lucu" adalah detik yang dijual ke pengiklan, dimonetisasi oleh platform, dan dieksploitasi oleh kreator. Bahkan perhatian kita terhadap ketidaksadaran kita sendiri---sudah ikut dirancang.
Inilah wajah baru eksploitatif kontemporer: tidak ada paksaan, tidak ada kekerasan. Hanya dopamine, ritme, dan swipe ke bawah.
V. Dampaknya Lebih Dalam dari yang Kita Duga
Di permukaan, joget velocity mungkin tampak seperti hiburan ringan---lucu, cepat, tidak berpretensi. Namun, di bawah permukaan, tersembunyi gelombang dekonstruksi kognitif yang pelan namun mematikan: infantilisasi publik digital.
Infantilisasi Publik Digital: Budaya Cepat, Lucu, Tanpa Kedalaman
Fenomena ini menciptakan generasi yang semakin sulit bertahan dalam ruang berpikir mendalam. Masyarakat digital kita dikondisikan untuk:
Tidak sabar terhadap teks panjang,
Menghindari kompleksitas,
Lebih tertarik pada impresi visual 15 detik daripada argumentasi logis 5 menit.
Istilah infantilisasi digital merujuk pada proses regresif ini---yakni kemunduran fungsi reflektif dan kritis menjadi hanya responsif, impulsif, dan dangkal---seperti anak kecil yang hanya mencari "mainan baru" tiap beberapa detik. Joget velocity adalah mainan sempurna itu.
Konten cepat tak hanya memanjakan otak---ia juga memperpendek rentang fokus, mematikan hasrat intelektual, dan menjadikan kebosanan sebagai musuh utama. Padahal dalam kebosanan, kreativitas dan refleksi biasanya tumbuh.
Studi Kasus: Remaja dengan Gangguan Konsentrasi Pasca Overconsumption Konten Cepat
Di sebuah sekolah menengah di Jakarta Selatan, seorang guru melaporkan bahwa lebih dari separuh siswanya tak bisa duduk fokus selama 10 menit dalam sesi diskusi. Ketika ditelusuri, hampir semua dari mereka menghabiskan rata-rata 4--6 jam sehari hanya untuk scrolling TikTok atau YouTube Shorts.
Salah satu siswa, sebut saja "A", mengaku bahwa setiap ia mencoba membaca buku, "suara beat TikTok" muncul di kepalanya, membuatnya gelisah. Ia mengalami apa yang para ahli sebut sebagai dopamine fatigue---yakni kelelahan sistem reward otak akibat stimulasi yang terlalu sering dan terlalu instan.
Data Statistik: Screen Time dan Gangguan Atensi
Fenomena ini bukan anekdotal semata. Studi yang dipublikasikan dalam JAMA Pediatrics (2022) melibatkan 3.000 remaja dan menemukan bahwa:
Remaja yang menghabiskan >3 jam per hari di TikTok memiliki risiko 60% lebih tinggi mengalami gangguan perhatian.
Korelasi tersebut lebih kuat dibandingkan dengan bentuk media lainnya (TV, game, bahkan Instagram).
Konten berformat cepat dengan audio dan visual intens secara langsung menurunkan kapasitas fokus jangka panjang.
Ini bukan hanya "masalah remaja malas"---ini adalah hasil langsung dari desain sistematis yang mengeksploitasi neuroplastisitas otak muda.
Risiko pada Otak Berkembang: Anak dan Remaja sebagai Sasaran Utama
Otak manusia, terutama di usia anak dan remaja, masih sangat plastis dan mudah dibentuk oleh stimulus eksternal. Maka ketika sistem reward mereka secara konsisten dibombardir oleh konten cepat, instan, dan dangkal---terjadi proses rewiring saraf secara permanen:
Prefrontal cortex (pengendali impuls dan pusat pengambilan keputusan) berkembang lebih lambat.
Sistem limbik (pengatur emosi dan impuls) justru menjadi dominan.
Aktivitas dopamin basal meningkat secara artifisial, menurunkan sensitivitas terhadap stimulus normal---mereka menjadi mudah bosan, cepat lelah, dan sulit menikmati proses.
Tak berlebihan jika kita menyebut ini sebagai bentuk kolonisasi neuropsikologis terhadap generasi yang masih tumbuh.
VI. Etika, Kebijakan, dan Harapan: Menandai Bahaya dalam Format yang Menari
Ketika konten digital mampu memicu respons neurologis yang sebanding dengan zat adiktif ringan, pertanyaannya bukan lagi "Apakah ini cuma hiburan?" melainkan:
Perlukah kita mulai memberi label "konten psikoaktif"?
Konten Psikoaktif: Konsep yang Perlu Kita Seriuskan
Dalam dunia farmakologi, "psikoaktif" berarti substansi yang memengaruhi pikiran, emosi, atau kesadaran. Dalam dunia digital, kita kini menghadapi konten dengan efek serupa, terutama melalui:
Repetisi audio visual (ritme, warna terang, transisi cepat),
Penguatan dopamin instan (like, view, loop),
Induksi trance mikro melalui kecepatan dan intensitas sensorik.
Jika sebuah video bisa mengganggu pola tidur, memicu kecanduan, menurunkan rentang atensi, dan menciptakan obsesi kognitif ringan (earworm, doomscrolling, loops), maka kita telah berhadapan dengan "konten psikoaktif non-kimiawi." Ini bukan hiperbola---ini adalah peringatan dini dari bidang neurosains dan psikologi media.
Maka, pelabelan konten psikoaktif, sebagaimana label "mengandung aditif" atau "perlu bimbingan orang tua," bukanlah langkah reaktif, melainkan preventif.
Usulan: Literasi Neuro-Digital Sebagai Pendidikan Dasar Baru
Kita hidup di zaman ketika anak 9 tahun lebih paham algoritma viral daripada hukum gravitasi. Maka sudah saatnya kita:
Mengajarkan mekanisme dasar dopamin dan sistem reward,
Menjelaskan bahaya loop atensi dan konten adiktif,
Membiasakan berpikir reflektif tentang kenapa dan bagaimana kita mengkonsumsi konten.
Literasi digital saja tidak cukup. Kita perlu naik kelas: literasi neuro-digital---pembekalan publik agar tidak hanya melek media, tapi juga melek otak sendiri.
Bayangkan generasi yang tahu bagaimana TikTok dirancang untuk membuatmu tidak bisa berhenti, lalu mereka memilih untuk berhenti. Itu adalah bentuk kebebasan digital yang sejati.
Peran AI Etis: Detektor Konten Sugestif
Dengan berkembangnya teknologi kecerdasan buatan, kini memungkinkan untuk:
Mendeteksi intensitas repetisi audio-visual,
Menganalisis potensi sugestif dalam ritme, BPM, pola loop,
Memberi peringatan atau rekomendasi jeda konsumsi.
AI etis bukanlah musuh kebebasan berekspresi---melainkan pagar pembatas bagi eksploitasi bawah sadar. Seperti sabuk pengaman di jalan raya, ia tidak membatasi perjalanan, tapi menjaga agar kita tidak keluar jalur tanpa sadar.
Tanggung Jawab Bersama: Pembuat Konten, Platform, dan Kebijakan Publik
Masalah ini tidak akan selesai jika hanya diserahkan kepada pengguna. Dibutuhkan:
Pembuat konten
Memahami pengaruh neuropsikologis dari format yang mereka produksi.
Bertanggung jawab terhadap efek jangka panjang, bukan hanya jangkauan viral.
Platform digital
Menghentikan insentif eksplisit terhadap konten adiktif.
Memberikan tools bagi pengguna untuk mengelola konsumsi dan jeda.
Kebijakan publik dan lembaga pendidikan
Merumuskan standar etik konten berbasis bukti ilmiah.
Mendorong kurikulum literasi neuro-digital di sekolah.
Melibatkan psikolog, neuroscientist, dan aktivis digital dalam perumusan regulasi.
Harapan ke Depan: Dari Konsumen Pasif ke Pengguna Kritis
Dalam era di mana joget bisa menghipnosis, kita perlu lebih dari sekadar menikmati---kita perlu memahami. Dengan membekali generasi digital dengan pemahaman mendalam tentang bagaimana konten memengaruhi otak, kita bisa menciptakan peradaban yang: Cerdas secara neurologis, Kritis secara psikologis, dan Berdaulat secara digital.
Jogetnya boleh tetap jalan. Tapi jangan biarkan otak kita ikut dibajak dalam irama yang tak kita pilih.
VII. Penutup: Siapa yang Mengontrol Tubuh dan Pikiran Kita?
Sederhana. Kita berpikir kita sedang menikmati hiburan, sesekali menari mengikuti irama, atau tersenyum saat melihat gerakan lucu di layar. Tapi apa yang sebenarnya terjadi di dalam tubuh dan pikiran kita saat itu? Apakah kita sekadar menikmati atau lebih buruk---dikendalikan?
Dari sebuah joget viral yang terdengar menyenangkan hingga kesadaran yang terbenam dalam trance ringan, kita mulai bertanya: Siapa yang mengontrol tubuh dan pikiran kita? Ini bukan sekadar soal hiburan. Ini soal invasi halus terhadap sistem saraf kita.
Saat kita terjebak dalam loop tak berujung dari video yang diproduksi dengan sangat cerdas, kita bukan hanya menghabiskan waktu. Kita mungkin sedang melepaskan kendali atas atensi, pikiran, dan bahkan tubuh kita. Neuroplasticity, sistem limbik yang terstimulasi, dopamin yang terus dipompa---semua ini membentuk pengalaman yang lebih dalam dari sekadar konsumsi media. Ini adalah perubahan, yang tak terlihat, tapi ada.
Refleksi: Dari Sekadar Joget ke Invasi Halus
Kita melihat sebuah video viral, terhibur, dan mungkin kita melanjutkan hari kita. Namun, apa yang terjadi di otak kita? Secara tidak sadar, otak kita terlatih untuk menginginkan lebih---untuk berulang kali menonton, menari, atau bahkan hanya berpikir tentang gerakan itu. Tidak ada yang salah dengan sedikit hiburan, tetapi ketika kita tidak menyadari bahwa kita mulai terjebak dalam desain yang dengan sengaja dirancang untuk mengeksploitasi---kita sudah berada dalam masalah.
Konten seperti ini bukan hanya tentang "menikmati" sesuatu. Ini tentang mengundang kita ke dalam sebuah sistem di mana setiap gerakan, visual, dan bahkan suara, dirancang untuk menjaga kita tetap terhubung---dalam keadaan yang tidak sadar. Di dunia ini, hiburan bisa jadi lebih berbahaya daripada yang kita kira: bukan sekadar kesenangan sesaat, tetapi pencurian perhatian yang sangat halus.
Ajakan: Bangun Kesadaran Kritis dan Proteksi Mental di Era Digital
Sekarang saatnya untuk bertanya: Apakah kita akan terus menjadi korban dari arsitek viralitas yang tak kita kenal, ataukah kita akan bangkit dan mengambil kendali?
Di era digital ini, kita tidak hanya menjadi konsumen pasif. Kita bisa memilih untuk terlibat secara sadar dengan dunia digital, bukan hanya mengikuti arus tanpa berpikir. Bangun kesadaran kritis terhadap bagaimana kita mengkonsumsi konten---terutama yang mengandung potensi psikoaktif. Pelajari cara algoritma bekerja, bagaimana otak kita dipengaruhi, dan bagaimana kita bisa mengambil langkah-langkah untuk menjaga diri kita tetap waras di tengah kecepatan dunia yang semakin menghipnosis.
Karena ketika hiburan mulai menidurkan kesadaran, kita mungkin sudah kehilangan kendali tanpa kita tahu. Kita mungkin sudah menjadi bagian dari dunia yang bergerak sangat cepat---dengan otak dan tubuh kita terperangkap dalam irama yang tidak pernah kita pilih.
Saatnya kita sadar: Kendali atas hidup kita adalah hak kita. Mari ambil kembali kendali atas atensi kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI